Liana Arum Purwitasari

tanpa tanda jasa
SELAMAT DATANG DI BLOG LIANA ARUM PURWITASARI

Minggu, 29 Desember 2019

CERITA BINATANG PENGANTAR TIDUR


MERPATI YANG IRI
Seharian ini, Merpati iri hati pada Tekukur. Merpati merasa jatah jagungnya lebih sedikit dibandingkan dengan Tekukur. Merpati menganggap pemiliknya sudah tak menyayanginya lagi.
“Pemilikku lebih sayang Tekukur,” batin Merpati sambil memperhatikan sang pemilik yang lebih banyak memberikan jagung di tempat makan Tekukur. Merpati pun sedih.
Ingin rasanya ia kabur dari sangkar. Tapi ia tak mau melakukannya, karena esok ada perlombaan balap Merpati yang harus diikuti. Ia pun bertekad memenangi perlombaan agar bisa membanggakan pemiliknya.
Tiba-tiba, Merpati mendengar suara di kebun mentimun di belakang rumah. Ia melihat Kancil yang hendak mengambil buah mentimun.
“Kancil…” panggil Merpati.
Kancil terkejut dipergoki Merpati.
“Maaf, aku lapar. Nanti aku bawa bijinya sebgai ganti,” kata Kancil pelan.
“Bukan itu, aku butuh saranmu,” kata Merpati.
Kancil lalu mendekati sangkar Merpati. Merpati menceritakan kegundahan yang sedang dirasakannya. Dengan seksama Kancil mendengarkan keluh kesah Merpati.
Selesai Merpati bercerita, Kancil memberi saran.
“Jangan begitu Merpati, mungkin pemilikmu tak mau kamu terlalu gemuk.”
“Memangnya kenapa kalau aku jadi gemuk nanti?”
“Nanti terbangmu lambat.”
Merpati menggeleng. “Itu tak mungkin. Aku malah bisa terbang lebih cepat,” kata Merpati dengan sombongnya.
Kancil hanya tersenyum lalu beranjak pergi. Namun, Merpati mencegahnya.
“Kancil, kamu hendak ke mana?”
“Kembali ke hutan. Aku kan sudah memberi saran seperti maumu.”
“Bukan itu saran yang kumau.”
“Lalu apa keinginanmu?”
“Aku mau makan lebih banyak jagung seperti Tekukur.”
Kancil berpikir sejenak. Lalu berkata, “Kamu makan di sangkarnya Tekukur.”
“Caranya?”
“Kamu bujuk Tekukur supaya ia mau bertukar sangkar saat makan jagung.”
Merpati mengangguk. Kancil pun pamit pergi.
Setelah Kancil pergi, Merpati membujuk Tekukur untuk bertukar tempat saat makan. Awalnya Tekukur tak bersedia. Tapi karena Merpati terus memaksanya, maka Tekukur pun terpaksa menuruti.
Esok harinya setelah sang pemilik pergi seusai memberi makan jagung. Merpati dan Terkukur bertukar sangkar. Di sangkar Tekukur, Merpati lahap memakan jagung yang berjumlah banyak. Merpati menjadi kekenyangan. Dengan susah payah, Merpati kembali ke sangkarnya.
Tak lama kemudian, sang pemilik mengeluarkan Merpati yang masih kekenyangan dari sangkar. Lalu membawanya ke perlombaan balap Merpati.
Sayang, di perlombaan Merpati yang masih kekenyangan tak bisa terbang cepat sehingga kalah. Sang pemilik kembali ke rumah dengan wajah sedih. Merpati dikembalikan ke sangkarnya.
Di dalam sangkarnya, Merpati tampak menyesal tak menuruti saran Kancil. Ia menceritakan kekalahannya pada Tekukur.
“Merpati, kamu seharusnya tak perlu iri hati. Pemilik kita sengaja memberimu sedikit jagung agar kamu bisa terbang cepat dan menang,” celethuk Tekukur dari dalam sangkarnya. Merpati malu dan sedih mendengarnya. Ia pun menyesali sesuatu yang sudah tidak ada gunanya.
Kadal dan Ular Air
Disebuah kolam yang cukup besar dan dalam seekor kadal sedang berjalan di pinggiran kolam kadal itu sedang mencari kegiatan baru kadal itu sangat ingin mencoba sesuati yang baru, dia sangat ingin berpetualang ketika dia berjalan dipinggiran kolam sambil mengeluarkan lidahnya dia melihat sesuatu muncul dari dalam air hal pertama yang dilihat oleh kadal itu adalah sebuah kepala yang melenggak lenggok kesana kemari seperti sedang mencari sesuatu kemudian kadal itu mendekati mahkluk yang muncul dari dalam air itu dan dia sedikit kaget ternyata dia melihat seekor ular air.
Ketika itu ular air juga melihat kehadiran sang kadal lalu mendekatinya, setelah sampai dekat dengan sang kadal ular itu meninggikan kepalanya dan berkata :”Apa yang sedang dilakukan oleh seekor kadal gemuk ini dipinggiran kolam?” kadal itu menjauh dari sang ular karena dia takut dimangsa olehnya “Aku hanya sedang mencari kegiatan baru, aku hanya ingin mencari sebuah petualangan”. Kata sang kadal. “Kenapa kau menghindar dariku? Aku tidak memakan mu aku telah kenyang memakan ikan kecil yang ada di kolam itu” kata sang ular “jadi kau ingin sebuah petualangan yang seru” kata ular sambil mendesis “Ya itu benar aku ingin sekali mencoba sesuatu yang baru” kata sang kadal dengan penuh semangat “apa kau pernah melewati kolam ini sendiri?” Tanya sang ular.
“Aku tidak pernah melewatinya kolam ini terlalu luas untuk aku sebrangi meskipun aku bisa sedikit berenang tapi aku takut untuk menyebrangi kolam ini dari satu tepian ketepian lainnya”. Jawan sang kadal “apa kau mau menyebaranginya aku akan membantunya” ajak sang ular. Sang kadal sangat ingin sekali menyebranginya dan tanpa berpikir panjang kadal itu menerima ajakan dari sang ular “Baiklah kalo begitu carilah sesuatu yang bisa dijadikan sebagai tali!” Pinta sang ular “Untuk apa tali itu?” Tanya sang kadal dengan heran “Tali itu untuk kau ikatkan ke ekorku ketika kita berenang menyebrangi kolam ini kau tidak akan tenggelam, aku akan menarikmu kepermukaan”. jelas sang ular.
Lalu sang kadal mencari tali di pinggiran kolam dan dia mendapatkan nya, setelah itu sang kadal menalikan kaki depannya ke ekor sang ular dengan sangat kuat. Selesai itu kini sang ular dan sang kadal berenang menyebrangi kolam luas itu namun di tengah-tengah kolam sang ular berpikir untuk menenggelamkan sang kadal sebelum mencapai tepian, ketika hal itu akan dilakukan oleh sang ular tiba-tiba tibuhnya tertarik ke atas dia mencoba melepaskan diri dengan sekuat tenaga namun hal itu percuma ternyata sang kadal disambar oleh seekor burung alap-alap sehingga tubuh ular itu bergelantungan di udara. Saat itu sang alap-alap melihat bukan hanya kadal saja yang dia tangkap namun begitu juga seekor ular air dimana ekornya terikat pada kaki sang kadal.























KERA YANG CERDIK
Musim hujan sudah datang seminggu terakhir. Kera-kera yang tinggal di lereng gunung sedang bingung. Mereka bingung, haruskan mencari tempat lain yang aman? Atau mengungsi ke rumah-rumah warga kampung di bawah lereng? Mereka tahu, tanah di lereng gunung telah gundul dan kera-kera cerdik itu merasa sebentar lagi akan longsor karena hujan.
Di hutan dalam lereng gunung tempat tinggal kera-kera itu, hiduplah seekor ular piton besar. Ular piton adalah pemangsa yang hebat. Ia membuat sarang di bekas pohon yang ditebang. Ular piton hidup menyendiri, sepi, dan menunggu sesuatu untuk dimangsa. Saat lapar tiba, ular piton berwarna cokelat motif batik itu keluar dari sarang.
“Mendung!” gumam si piton. “Mulai gerimis! Sebentar lagi hujan pasti lebat. Aku suka sekali. Saat seperti ini banyak sesuatu yang bisa kumangsa.”
Ular itu tahu setiap hujan turun binatang-binatang penghuni hutan di lereng gunung hanya bisa berteduh, kadang di bawah pohon, kadang di goa-goa kecil tempat persembunyian mereka. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan selain berteduh menunggu hujan reda.
Si piton segera melata, mengendus aroma daging calon mangsanya. Lidahnya menjulur-julur lucu. Saat berjalan santai di bawah hujan, si piton pun melihat seekor kera mungil yang sedang berteduh di bawah pohon aren. Kera itu menggigil.
“Ah, santap siang yang enak ini,” gumam Piton. Ia sudah membayangkan kelezatan setiap inci tubuh kera yang renyah. Pasti gurih! batinnya. Andai saja semua itu bisa dilakukannya dengan mudah. Kemudian ia mencari-cari strategi untuk segera menyergap si kera agar tepat sasaran.
Sesampainya di dekat kera mungil itu, si piton mendengar si kera sedang merintih, seperti kesakitan. Si piton tiba-tiba berubah pikiran. Ah, sakit apa dia? Tanya Piton dalam hati.
Piton kembali melata mendekati kera yang menggigil dan merintih sendirian.
“Hei, Kera? Kau menggigil? Kau merintih? Kau sakit? Demam?” tanya Piton setelah menampakkan diri di depan kera mungil itu.
“Piton? Kau membuatku kaget. Mau ke mana kau, hujan-hujan begini?”
“A-aku. Aku mau lewat saja. Aku suka hujan-hujanan. Karena aku bisa bermain air. Kau belum jawab pertanyaanku, Kawan?” kata Piton lagi.
“Hmm, ya, kakiku memang sedang sakit. Seseorang tadi membuat jebakan di ujung hutan. Aku sempat terjepit jebakan besi. Aku dikira tikus apa, ya? Dijebak dengan benda mirip jebakan tikus. Lihat ini, kakiku luka. Untung aku bisa melepaskan diri,” rintih Kera.
“Aih, lukamu lumayan parah, Kawan. Darah masih mengucur, tuh! Kalau kau tak bersihkan bisa membusuk kakimu.”
“Benar juga. Akan ada banyak kuman sepertinya. Dan sekarang aku sudah merasakan ada kuman-kuman menjalar di tubuhku. Ah, jangan-jangan sebentar lagi aku mati membusuk, berbelatung. Bagaimana ini, Piton? Ah, kenapa kau tak makan aku saja? Cepatlah!” kata Kera memelas.
Piton sedikit bimbang. Ia merasakan dilema, perutnya memang lapar, tetapi ia jijik membayangkan kera itu sudah dipenuhi kuman yang sebentar lagi membusuk.
“Ah, tidak, tidak. Aku tak tega, Kawan. Kau sedang teraniaya. Tak boleh memangsa lawan yang sedang teraniaya.”
Padahal dalam hati, Piton takut kalau kuman dalam kera itu akan berpindah ke tubuhnya. Selera makan Piton hilang seketika.
“Oh, begitukah, Kawan?”
“Ya, tentu saja!’
“Baiklah, kalau begitu aku akan mencari air di sungai untuk membersihkan lukaku ini. Boleh aku pamit?”
“Baiklah. Kau tenang saja, Kawan. Lain kali aku tak akan memburumu. Meskipun kau sudah sehat kembali.”
“Kau janji, Piton?”
“Iya. Aku janji. Sana, pergilah. Sembuhkan lukamu dulu. Aku pun mau melanjutkan perjalananku. Aku mau cari tupai saja. Sebenarnya aku sedang lapar,” ujar Piton.
“Hmm, baiklah. Selamat berburu, Kawan! Semoga kau dapat tupai yang gemuk.”
“Terima kasih, Kera.”
Ular piton itu melata lebih dulu, meninggalkan kera mungil yang cerdik. Si Kera kini terbengong-bengong. Dalam hati ia tertawa sambil berkelakar, “Begitu mudah menyelamatkan diri dari ancaman ular. Tak kusangka, meski tampilannya menyeramkan kadang ia baik juga. Pantas, sekarang ular-ular seperti piton itu sering diburu manusia, dijadikan binatang peliharaan. Ya, ternyata mereka memang lucu dan sedikit dungu. Mungkin karena itulah mereka mudah dijinakkan. Ah, terserah saja lah.”











 

 

 

 


BADAK PEMBOHONG
Badak sebenarnya hewan yang baik. Ia suka berbagi makanan pada hewan lain. Sayangnya, ia sangat suka berbohong, meskipun hal itu dilakukannya sekadar iseng. Ternyata, keisengannya ini merugikan dirinya dan hewan lain.
Di siang hari yang terik, kambing sedang tidur-tiduran di bawah pohon besar. Suasana yang teduh dan hawa yang sejuk membuat kambing hampir tertidur. Tiba-tiba, badak datang dan mengagetkannya.
“Hoi, kambing!!!” teriak badak lantang. “Mengapa engkau malah enak-enakan tidur di sini, sementara teman-temanmu sedang bersusah payah memperbaiki rumahmu yang rusak tertimpa pohon!?”
Mendengar hal itu, si kambing pun terkejut. “Yang benar, badak. Waktu aku pergi, rumahku masih baik-baik saja.”
”Kejadiannya belum begitu lama,” kata badak.
Perkataan badak yang sangat meyakinkan membuat kambing terpengaruh dan percaya. “Kalau begitu, aku harus segera pulang. Terima kasih atas informasimu.”
Begitu kambing pergi menjauh, si badak tertawa terbahak-bahak. “Kambing itu rupanya tak tahu sedang aku bohongi. Ha… ha… ha….”
Rupanya, si badak berbohong agar ia bisa berteduh di bawah pohon besar Itu.
Di lain waktu, ketika si badak ingin berendam di sungai, di situ ternyata sudah ada sekelompok bebek yang sedang bermain. Si badak pun merencanakan kebohongan lain agar bisa menguasai sungai itu dan berendam dengan leluasa.
”Hai, bebek. Berani sekali kau mandi di sungai ini. Apa kau tidak takut dimakan buaya!?” seru badak dengan lantang dari tepi sungai.
“Mana ada buaya di sini? Kami sudah lama mandi di sungai ini dan belum pernah sekali pun bertemu buaya,” bantah bebek.
“Buaya itu memang baru tinggal di sungai ini kemarin. Aku melihatnya sendiri. Dia tinggal di gua pinggir sungai itu. Sekarang ia pasti sedang tidur. Kalau nanti bangun, ia pasti kelaparan dan akan memangsa kalian.”
”Benarkah begitu?” tanya bebek-bebek itu serentak.
“Terserah kalian mau percaya atau tidak. Yang penting, aku sudah memberi tahu kalian. Kalau kalian tidak menghargai niat baikku, ya tidak apa-apa,” kata badak.
Setelah berkata demikian, si badak pun pura-pura berjalan pergi. Ia bersembunyi di balik semak-semak di tepi sungai. Ternyata, tipuannya kali ini juga berhasil. Bebek-bebek itu keluar dari sungai dan pergi menjauh. Setelah bebek-bebek itu tidak tampak lagi, barulah si badak keluar dari tempat persembunyian dan berendam di sungai.
Begitulah tingkah laku si badak. Hampir setiap hari ada saja hewan di hutan yang dibohongi demi kepentingannya sendiri. Akhirnya, semakin banyak hewan yang tidak percaya lagi kepadanya.
Suatu hari, di hutan tempat badak tinggal, hujan turun dengan sangat deras. Angin pun bertiup kencang. Tidak ketinggalan petir sambar-menyambar. Akibatnya, banyak pohon di hutan roboh. Saat hujan mengganas, badak sedang berada di dalam gua, tempat tinggal beruang. Ia pun baru pulang ke rumah saat hujan reda.
Sesampai di depan rumah, badak sangat terkejut mendapati tempat tinggalnya hancur tertimpa pohon. Karena panik, si badak berlari mencari bantuan kepada hewan-hewan lain di hutan. Sayangnya, mereka tidak lagi percaya pada kata-kata si badak.
“Tolonglah, rumahku hancur tertimpa pohon. Bantu aku memperbaiki rumahku,” kata badak setengah menangis.
“Sudahlah. Biar pun kau menangis sampai air matamu habis, tak akan ada hewan di hutan ini yang percaya lagi kepadamu,” kata kambing ketika badak mendatanginya.
Ketika badak mendatangi kerbau, jawabannya pun tak Jauh berbeda.
“Kali ini, aku tidak bohong,” kata badak meyakinkan.
“Kami sudah tidak bisa membedakan kapan kau bohong dan tidak,” kata gajah saat badak meminta tolong kepadanya.
Lelah meminta pertolongan, si badak cuma bisa menangis. Malam itu, ia harus tidur di luar. Tubuhnya pun kedinginan. Selain itu, besoknya ia harus membangun rumahnya sendiri, tanpa bantuan dari kawan-kawannya.















SI KELINCI DAN SI ANJING
Disebuah perkebunan jagung yang cukup luas terdapat seekor anjing petani sedang mencari kelinci yang berkeliaran untuk dimangsa. Anjing itu dilatih untuk mengejar hewan pengganggu perkebunan jagung ketika jagung masih muda. Daun jagung itu sering dimakan oleh kelinci sehingga tanaman jagung itu tidak dapat tumbuh dengan baik dan jika tanaman itu tidak tumbuh dengan baik hasil panen jagung juga akan sangat berkurang, maka dari itu sang petani menempatkan seekor anjing terlatih di perkebunan itu. Setiap hari anjing itu berkeliaran memeriksa hewan pengganggu tanaman jagung di perkebunan petani.
Pada suatu pagi anjing itu bangun dari tidurnya kemudian dia berjalan mengitari perkebunan jagung itu sambil mengendus-ngendus bau hewan lain dengan hidung nya, penciuman anjing itu sangat tajam bahkan anjing itu mampu mencium bau kelinci dari jarak yang sangat jauh, ketika dia berjalan anjing itu mencium bau kelinci dari kejauhan anjing itu mengikuti arah bau itu sampai akhirnya dia melihat seekor kelinci sedang asik memakan pucuk jagung yang masih muda. Anjing itu berjalan perlahan mendekati kelinci tersebut ketika dia sudah sangat dekat dengan kelinci itu sang anjing langsung mengejarnya dengan sangat cepat, namun sang kelinci mendengar langkah anjing itu karena kelinci memiliki telinga yang panjang dan sangat peka terhadap suara. Kelinci itu menhindari sang anjing dengan cepat dia melompat dengan sangat cepat dan lompatan kelinci itu sangat jauh.
Sang anjing terus mengejarnya meskipun kelinci itu semakin menjauh dari jarak sang anjing namun sang anjing tidak menyerah begitu saja. Anjing itu memiliki kemampuan berlari tanpa henti sehingga dia mampu mengejar sang kelinci tanpa kelelahan. Meskipun demikian sang kelinci yang sangat cepat melompat menghindari kejaran anjing itu membuat anjing itu kehilangan jejaknya, anjing itu mulai mengendus-ngendus bau sang kelinci dan tidak lama kemudian dia menemukan kelinci itu kini dia mengejarnya lebih cepat dari sebelumnya namun sang kelinci itu tidak dapat dia kejar hingga akhirnya anjing itu menyerah dan tidak melakukan pengejaran terhadap kelinci itu lagi. Ternyata kejadian itu ditonton oleh seekor burung gagak yang sedang bertengger di sebuah pohon yang daunnya sedang gugur ketika anjing itu melewati pohon tersebut sang gagak bertanya kepadanya “Ternyata kelinci itu lebih kencang dibandingkan dengan dirimu” kemudian sang anjing berkata dengan tenang “Apa kau tidak melihat perbedaan yang begitu mencolok antara aku dengan kelinci itu?” sang gagak menjawab “aku tidak melihat perbedaan itu, memang apa perbedaan yang kau maksudkan itu?” Sang anjing menjawab “Aku berlari untuk menangkap makanan sedangkan dia berlari mempertahankan hidupnya, sebuah keinginan akan menentukan kerasnya sebuah usaha”.




























BUAYA YANG INGIN MENYANTAP GAJAH
Pak Buaya terkenal sebagai hewan yang rakus dan serakah. Setiap hari, tak kurang dari seekor kambing atau sepuluh ekor bebek disantapnya. Hal ini tentu meresahkan hewan lain yang sering mencari makan dan minum di pinggir sungai. Kerakusan Pak Buaya membuat mereka harus sangat hati-hati agar tidak menjadi santapannya.
Hewan-hewan yang gelisah dan merasa terancam ini pun berkumpul untuk mengadakan pertemuan. Pak Kambing ditunjuk memimpin rapat itu. Ia dianggap lebih pintar di antara hewan lain.
“Jalan satu-satunya agar kita selamat dan hidup tenang adalah menyingkirkan Pak Buaya dari sungai,” ujar Pak Kambing saat membuka rapat.
“Benar, Pak Kambing. Cuma kami tak tahu caranya. Apalagi, Pak Buaya sangat buas. Tak seekor hewan pun yang berani kepadanya,” seru tupai lantang.
“Nah, untuk itulah kita semua berkumpul di sini. Masalah ini harus kita pecahkan bersama,” sahut bebek.
“Bagaimana kalau kita lawan saja? Kalau kita semua yang ada di sini bersatu untuk melawannya, Pak Buaya pasti kalah,” usul sapi.
Pak Kambing menggelengkan kepala tanda tidak setuju.
“Kita tidak akan melawan kekerasan dengan kekerasan. Bisa-bisa, kita semua akan binasa dan mati dengan sia-sia.”
“Benar kata Pak Kambing. Kita semua pasti akan kalah, apalagi Pak Buaya juga memiliki banyak teman. Mereka akan menganggap kita semua sebagai hidangan pesta yang lezat,” kata bebek lagi.
Akhirnya, semua hewan yang ada di dalam rapat itu terdiam dan mulai berpikir mencari cara yang tepat untuk mengalahkan Pak Buaya.
“Aku tahu apa yang harus kita lakukan!” seru Pak Kambing memecah keheningan.
“Ide Pak Kambing pasti cemerlang,” kata sapi tak sabar.
“Begini, kita semua tahu, Pak Buaya adalah hewan yang rakus. Namun, kita juga tahu, ia adalah hewan bodoh. Besok, aku akan pergi ke pinggir sungai. Aku akan memintanya menemui gajah.”
“Hati-hati, jangan sampai engkau yang menjadi santapan Pak Buaya!” seru kelinci memperingatkan.
Keesokan hari, Pak Kambing pergi ke pinggir sungai untuk menjalankan idenya. Ia memang sengaja berlama-lama menunggu kehadiran Pak Buaya sambil selalu waspada. Pak Kambing tidak ingin dirinya dijadikan santapan Pak Buaya.
Pak Buaya akhirnya muncul dan berjalan menuju ke arah Pak Kambing. Sebelum dekat, Pak Kambing segera menyapanya. “Hari ini kau pasti sangat lapar. Namun, kalau kau menyantapku sekarang, dirimu pasti akan menyesal. Soalnya, aku tahu tempat hewan yang sangat besar yang bisa membuatmu kenyang dan tidak makan selama satu minggu.”
“Oh ya, di mana itu?” Pak Buaya yang rakus memang selalu tidak sabar kalau mendengar makanan yang banyak.
“Tenang dulu, Pak Buaya. Tidak usah terburu-buru. Hewan itu bernama gajah. Ia tinggal di hulu sungai ini. Memang agak jauh dari sini. Akan tetapi, kalau kau sudah menemukannya, aku jamin kau suka. Jumlah mereka sangat banyak sehingga kau tidak perlu khawatir kelaparan. Kalau dibandingkan dengan yang ada di sini, jauh sekali. Hewan di sini kecil-kecil dan jumlahnya semakin sedikit karena kau selalu memangsanya,” kata Pak Kambing.
”Baiklah. Aku harap engkau tidak berbohong. Aku akan datang ke sana. Toh, tempat itu tidak terlalu jauh. Aku cukup berenang selama empat hari saja. Terima kasih atas informasimu, Pak Kambing,” ujar Pak Buaya senang.
Tanpa membuang waktu, Pak Buaya berenang menuju hulu sungai. Meski belum pernah bertemu dengan gajah, Pak Buaya sangat yakin akan menemukan hewan itu dengan mudah. Setelah menempuh perjalanan yang panjang, Pak Buaya melihat sekelompok hewan bertubuh besar sedang minum di sungai. Wajah Pak Buaya terlihat gembira.
“Inilah hewan yang diceritakan Pak Kambing. Mereka memang sangat besar. Sekali santap, aku pasti akan merasa kenyang selama satu minggu,” pikir Pak Buaya.
Pak Buaya pun berjalan mendekat ke arah gajah-gajah itu. Sebelum sampai di tempat yang dituju, seekor gajah telah melihatnya. Sadar akan bahaya yang mengancam, salah satu dari gajah yang paling besar mendekati Pak Buaya dan menginjak Pak Buaya dengan salah satu kakinya.
Karena tidak diduga, Pak Buaya tidak sempat menghindar atau melakukan perlawanan. Pak Buaya akhirnya mati karena tubuhnya diinjak sang gajah.





















DUA EKOR KAMBING YANG SOMBONG
Tak terasa sudah seharian Si Tanduk berdiri di tepi sungai. Ternyata, ia sedang berkaca di air dan mengagumi tanduknya yang besar dan melengkung.
”Aku memang gagah. Tidak ada seekor kambing pun di sini yang memiliki tanduk seperti aku.”
Seperti itulah yang dilakukan si kambing sombong setiap hari. Ia memang memiliki tanduk yang indah. Tak heran jika teman-temannya menjulukinya “Si Tanduk”. Namun, karena kesombongannya itu, tak ada seekor kambing pun yang mau berteman dengannya. Setiap ada yang mendekati, Si Tanduk selalu membanggakan tanduknya.
“Tidakkah kau mau mengagumi sejenak tandukku yang indah ini,” kata Si Tanduk pada domba yang kebetulan berpapasan dengannya.
“Untuk apa, yang aku butuhkan sekarang ini adalah rumput segar karena aku lapar. Lebih baik kau cari saja kambing lain,” jawab si domba dengan wajah kesal sambil beranjak pergi menuju lapangan rumput.
Si Tanduk pun beranjak ke arah berlawanan dengan si domba. Ia berharap bertemu dengan kambing lain untuk memamerkan tanduknya.
Tak lama setelah itu, empat ekor anak kambing tampak berjalan ke arahnya. Hati Si Tanduk pun sangat senang.
“Anak-anak kambing itu pasti akan kagum melihat tandukku,” pikirnya sambil tersenyum.
Sayangnya, keempat anak kambing itu malah berlari berbalik arah meninggalkan Si Tanduk. Keempat anak kambing itu rupanya sudah bosan dengan perilaku si Tanduk yang suka pamer.
“Hai… kalian akan rugi kalau tidak melihat tandukku hari ini!” teriak Si Tanduk.
”Justru kami yang rugi sudah membuang waktu untuk mendengar kesombonganmu,” jawab keempat anak kambing Itu serempak.
Karena merasa tidak ada lagi kambing lain mau mengagumi tanduknya, Si Tanduk berniat pergi ke seberang sungai. Ia ingin memamerkan tanduknya pada kambing-kambing yang ada di sana. Sayangnya, sungai itu tidak berjembatan sehingga Si Tanduk tidak dapat menyeberang.
Namun, suatu hari terjadi angin topan sehingga banyak pohon yang tumbang. Kebetulan, sebuah pohon kelapa yang tinggi tumbang dan jatuh melintang di atas sungai. Karena batangnya menjangkau tepian sungai yang lain, pohon tersebut bisa digunakan sebagai jembatan. Keinginan Si Tanduk pun terkabul. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan bagus ini, ia segera menuju sungai.
Baru saja kakinya sampai di jembatan, dalam waktu yang sama, seekor kambing dari seberang Juga menginjakkan kakinya di ujung jembatan satunya.
“Hei, Minggir! Aku mau lewat!” seru Si Tanduk berteriak lantang.
”Untuk apa aku harus minggir? Aku sudah terlebih dahulu menginjakkan kakiku,” sahut kambing di seberang tak kalah lantang. Keduanya saling berpandangan sejenak dengan mata melotot.
“Tidakkah kau takut pada tandukku yang besar ini?” Si Tanduk mulai menyombongkan diri.
“Harusnya kau yang takut padaku. Lihatlah tubuhku ini. Lebih besar darimu, bukan? Aku pasti lebih kuat.” Ternyata, kambing ini pun sama sombongnya dengan Si Tanduk.
Karena tidak ada yang mengalah, kedua kambing itu mulai melangkah maju. Mereka pun bertemu di tengah-tengah jembatan pohon kelapa itu. Mata keduanya sama-sama garang.
“Jadi, kau benar-benar tidak mau mundur! Berarti kau telah siap menanggung risikonya. Rasakanlah kehebatan tandukku ini” seru Si Tanduk sambil berlari ke arah lawannya.
Tanpa mengenal rasa takut. serudukan Si Tanduk dilayani si kambing besar itu. Karena dua kekuatan besar bertemu, hasilnya pun menakjubkan. Keduanya sama-sama jatuh ke sungai. Karena tidak dapat berenang, keduanya terseret arus sungai yang deras.

KUCING YANG CERDIK
Anjing dikenal memiliki penciuman tajam. Kemampuan anjing mencium keberadaan hewan-hewan di hutan tentu saja dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemburu. Akibatnya, tak satu hewan pun yang bisa lolos dari kejaran pemburu.
Hal tersebut tentu saja meresahkan Prabu Macan. Raja hutan ini sangat sedih memikirkan nasib rakyatnya. Setiap hari, selalu saja ada hewan di hutan yang ditangkap oleh pemburu.
“Hari ini, si kembar babi hutan tertangkap pemburu,” lapor monyet dengan terengah-engah karena kelelahan, melompat dari satu pohon ke pohon lain untuk melapor ke Prabu Macan.
Pada hari sebelumnya, burung nuri dan kelinci juga melaporkan nasib sahabat-sahabatnya.
”Kasihan si rusa. Anjing pemburu itu berhasil mengendus tempat rusa beristirahat sehingga pemburu-pemburu itu dengan mudah memanah si rusa hingga mati,” kata burung nuri.
”Semakin lama, jumlah kancil yang ada di hutan ini akan habis. Merekalah yang paling sering menjadi sasaran pemburu,” tambah kelinci, sahabat si kancil ikut memberi laporan.
Melihat keadaan ini, Prabu Macan pun memanggil seluruh penghuni hutan untuk berkumpul. “Kita tidak bisa membiarkan warga hutan habis diburu. Untuk itu, kita harus melakukan sesuatu.”
“Setuju!!!” seru semua yang hadir kompak.
“Namun, apa harus kita lakukan?” tanya kelinci.
”Kita harus menyingkirkan anjing itu,” sahut serigala.
Prabu Macan pun berpikir sejenak. “Usul serigala memang tepat, tetapi siapa yang sanggup melakukannya? Apalagi, si anjing itu selalu berada dekat dengan si pemburu,” kata Prabu Macan kepada warganya.
Suasana pun hening. Tak satu pun hewan yang berani mengajukan diri untuk menyingkirkan si anjing.
Tiba-tiba….
“Serahkan saja semuanya pada hamba,” kata kucing lantang.
Mendengar perkataan kucing, semua hewan yang hadir tertawa terbahak-bahak.
“Kau ini lucu sekali kucing. Aku berjanji, kalau kau bisa melenyapkan anjing pemburu itu, aku akan memakan kotoranmu. Ha… ha… ha,” kata Prabu Macan sambil tertawa.
Merasa diremehkan, malam itu kucing menyusup ke istana tempat anjing pemburu itu tinggal. Si kucing ingin membuktikan bahwa perkataannya dapat dipertanggungjawabkan. Ia memang merasa mampu untuk mengalahkan anjing.
Sesampai di dalam istana, kucing melihat anjing sedang makan bersama tuannya. Dengan hati-hati, kucing merayap masuk ke dalam. Namun, gerak-gerik kucing ini tercium oleh anjing pemburu. Seketika itu, mata si anjing melotot dan tak henti-henti menyalak.
“Guk… guk… guk.…!!!”
Tingkah-laku si anjing membuat tuannya heran. Ia berpikir hewan peliharaannya ini sedang kelaparan. Jadi, tulang-tulang pun dilemparkan ke arah hewan tersebut. Meski sudah diberi banyak tulang, si anjing tetap menyalak.
“Apa lagi maumu? Bukankah tulang-tulang itu sudah cukup banyak?” tanya tuannya keheranan.
Kucing pun melompat pada tiang di belakang kursi tempat si pemburu duduk. Dengan senyuman mengejek, ia menggoda anjing tersebut.
“Tak bisakah kau menangkapku hewan pemalas?”
Perkataan kucing membuat anjing marah besar. Tanpa pikir panjang, si anjing memburu kucing dengan membabi-buta. Karena kepandaian si kucing untuk menghindar, terjangan anjing justru menuju sang tuan.
Hal ini tentu saja membuat si pemburu marah besar. Bahkan, ia mulai berpikir anjingnya terkena penyakit gila dan berbahaya. Saat itu juga, si pemburu mengambil pedang panjang dan menghunusnya tepat di dada si anjing. Anjing pun mati seketika itu.
Setelah berhasil memperdaya si anjing, kucing tidak berani kembali ke hutan. Dia ingat janji Prabu Macan yang akan memakan kotoran si kucing.
“Kalau sekarang ia makan kotoranku, bisa jadi suatu saat aku yang akan dimakannya,” pikir kucing.
Jadi, sampai saat ini kucing selalu menutupi kotorannya dengan tanah agar tak tercium oleh Prabu Macan.



















BURUNG PUYUH YANG CERDIK
Pada suatu masa, manusia, hewan, dan pohon dapat saling berkomunikasi satu dengan yang lain. Saat itu jugalah hidup seorang yang sangat kejam bernama Pak Sugeak. Ia hidupsendiri di sebuah rumah besar di pinggir hutan. Meski kaya-raya, ia sangat serakah sehingga semua makhluk enggan berkawan dengannya.
Tidak jauh dari rumah Pak Sugeak, hiduplah seekor burung puyuh. Suatu hari, burung puyuh, yang sedang mencari makan dengan mengais-ngais tanah mencari cacing, dikejutkan seruan Pak Sugeak.
“Pergi kau burung kecil kotor! Jangan ganggu cacing-cacing itu. Mereka sedang menggemburkan kebunku. Kalau mereka kau makan, kau yang akan aku suruh untuk menggantikan pekerjaan cacing-cacing itu.”
Sang burung puyuh rupanya sakit hati dengan kata-kata Pak Sugeak. Tanpa berpikir lama, ia mendatangi kancil sahabatnya yang terkenal cerdik untuk meminta nasihat.
“Cil, tingkah-laku Pak Sugeak sudah keterlaluan, dia merasa semua yang di dunia ini miliknya. Dia sudah sangat serakah. Kita harus berbuat apa untuk menghentikannya? Biasanya, kau punya ide yang hebat, sahabatku,” kata burung puyuh.
“Maaf, kawan. Aku rasa Pak Sugeak terlalu kuat untuk dilawan,” kata Kancil menyerah.
“Cil, tidak ada makhluk yang lebih kuat daripada Tuhan. Jadi, aku yakin pasti ada sesuatu yang bisa mengalahkan Pak Sugeak. Itulah yang harus kita cari,” kata burung puyuh memberi keyakinan.
Sebatang pohon kopi yang berada di sana ikut bersuara. “Benar yang dikatakan burung puyuh itu. Aku juga sudah tak tahan dijadikan tempat untuk mengikat kambing-kambingnya. Lihatlah badanku, bengkak dan lecet semua.”
“Ternyata, bukan aku saja yang sakit hati pada Pak Sugeak. Aku pikir, kita semua bisa bekerja sama untuk melawannya,” kata puyuh lagi.
”Itulah yang sejak dulu aku pikirkan. Pak Sugeak terlalu kuat dan pintar. Walaupun kau dan aku bersatu, kita tidak akan bisa menang,” ucap si pohon kopi yang sudah ragu.
“Kawan-kawan, bukan hanya kalian yang ingin memberi pelajaran buat Pak Sugeak. Aku juga ingin. Apalagi, banyak temanku yang dijadikan tungku dan dijual oleh Pak Sugeak.” Kali ini si tanah liat ikut berbicara.
Si burung puyuh pun berpikir sejenak. Setelah itu, dia berseru, ”Kalau begitu, kita semua harus bersatu!”
Selanjutnya, burung puyuh mengajak ketiga temannya Itu untuk lebih mendekat. Dia ingin membisikkan sesuatu. Setelah mendengar ide dari burung puyuh, ketiganya mengangguk setuju.
Saat hari menjelang tengah malam, mereka sudah berada di rumah Pak Sugeak. Ketika orang itu sudah tidur, si batang kopi mengetuk pintu rumah sangat keras. Dengan mata setengah terpejam, Pak Sugeak menuruni tangga rumah hendak membuka pintu. Ketika kakinya menyentuh anak tangga terakhir, tiba-tiba tubuh lelaki kejam itu tergelincir karena menginjak si tanah liat licin yang dengan sengaja berada di sana.
Dengan menahan rasa sakit, Pak Sugeak mencoba untuk bangun. Namun, belum sempat berdiri, wajah Pak Sugeak terkena hantaman kuku tangan si kancil. Akibatnya, mata kanan orang itu tidak bisa melihat. Sambil terhuyung-huyung, ia masih berusaha mencari-cari sesuatu di dapur.
Saat itulah burung puyuh mengepakkan sayapnya dengan keras sehingga abu dapur beterbangan dan masuk ke mata kiri Pak Sugeak. Lelaki itu pun berteriak menahan sakit. Tak lama kemudian, batang kopi datang dan memukul tubuh Pak Sugeak dari belakang hingga jatuh terkapar.
“Apakah kau masih bisa berlaku kejam, Pak Sugeak!?” seru burung puyuh.
“Siapa kalian?” tanya Pak Sugeak.
“Kami semua adalah korban kejahatanmu,” tambah si kancil.
“Baiklah, aku minta maaf. Akan tetapi, tolong jangan sakiti aku lagi,” iba Pak Sugeak.
“Kami akan memaafkanmu, tetapi dengan satu syarat!” kata si kancil. “Apa itu?” Pak Sugeak bertanya.
“Mulai saat ini, kau harus meninggalkan tempat ini. Pindahlah ke tempat lain dan janganlah berbuat kejam lagi di tempat barumu itu.”
“Kalau itu memang keinginan kalian, baiklah. Aku akan pergi jauh dan tidak akan mengulangi kesalahanku di tempat yang baru,” janji Pak Sugeak.
Pagi harinya, mereka pun melihat Pak Sugeak meninggalkan rumahnya yang besar tanpa membawa harta bendanya.