MERPATI YANG IRI
Seharian ini, Merpati iri hati pada
Tekukur. Merpati merasa jatah jagungnya lebih sedikit dibandingkan dengan
Tekukur. Merpati menganggap pemiliknya sudah tak menyayanginya lagi.
“Pemilikku lebih
sayang Tekukur,” batin Merpati sambil memperhatikan sang pemilik yang lebih
banyak memberikan jagung di tempat makan Tekukur. Merpati pun sedih.
Ingin rasanya ia
kabur dari sangkar. Tapi ia tak mau melakukannya, karena esok ada perlombaan balap
Merpati yang harus diikuti. Ia pun bertekad memenangi perlombaan agar bisa
membanggakan pemiliknya.
Tiba-tiba, Merpati
mendengar suara di kebun mentimun di belakang rumah. Ia melihat Kancil yang
hendak mengambil buah mentimun.
“Kancil…” panggil
Merpati.
Kancil terkejut
dipergoki Merpati.
“Maaf, aku lapar.
Nanti aku bawa bijinya sebgai ganti,” kata Kancil pelan.
“Bukan itu, aku butuh
saranmu,” kata Merpati.
Kancil lalu mendekati
sangkar Merpati. Merpati menceritakan kegundahan yang sedang dirasakannya.
Dengan seksama Kancil mendengarkan keluh kesah Merpati.
Selesai Merpati
bercerita, Kancil memberi saran.
“Jangan begitu
Merpati, mungkin pemilikmu tak mau kamu terlalu gemuk.”
“Memangnya kenapa
kalau aku jadi gemuk nanti?”
“Nanti terbangmu
lambat.”
Merpati menggeleng.
“Itu tak mungkin. Aku malah bisa terbang lebih cepat,” kata Merpati dengan
sombongnya.
Kancil hanya
tersenyum lalu beranjak pergi. Namun, Merpati mencegahnya.
“Kancil, kamu hendak
ke mana?”
“Kembali ke hutan.
Aku kan sudah memberi saran seperti maumu.”
“Bukan itu saran yang
kumau.”
“Lalu apa
keinginanmu?”
“Aku mau makan lebih
banyak jagung seperti Tekukur.”
Kancil berpikir
sejenak. Lalu berkata, “Kamu makan di sangkarnya Tekukur.”
“Caranya?”
“Kamu bujuk Tekukur
supaya ia mau bertukar sangkar saat makan jagung.”
Merpati mengangguk.
Kancil pun pamit pergi.
Setelah Kancil pergi, Merpati membujuk
Tekukur untuk bertukar tempat saat makan. Awalnya Tekukur tak bersedia. Tapi
karena Merpati terus memaksanya, maka Tekukur pun terpaksa menuruti.
Esok harinya setelah
sang pemilik pergi seusai memberi makan jagung. Merpati dan Terkukur bertukar
sangkar. Di sangkar Tekukur, Merpati lahap memakan jagung yang berjumlah
banyak. Merpati menjadi kekenyangan. Dengan susah payah, Merpati kembali ke
sangkarnya.
Tak lama kemudian,
sang pemilik mengeluarkan Merpati yang masih kekenyangan dari sangkar. Lalu
membawanya ke perlombaan balap Merpati.
Sayang, di perlombaan
Merpati yang masih kekenyangan tak bisa terbang cepat sehingga kalah. Sang
pemilik kembali ke rumah dengan wajah sedih. Merpati dikembalikan ke
sangkarnya.
Di dalam sangkarnya,
Merpati tampak menyesal tak menuruti saran Kancil. Ia menceritakan kekalahannya
pada Tekukur.
“Merpati, kamu
seharusnya tak perlu iri hati. Pemilik kita sengaja memberimu sedikit jagung
agar kamu bisa terbang cepat dan menang,” celethuk Tekukur dari dalam
sangkarnya. Merpati malu dan sedih mendengarnya. Ia pun menyesali sesuatu yang
sudah tidak ada gunanya.
Kadal dan Ular Air
Disebuah kolam yang cukup besar dan dalam seekor kadal sedang
berjalan di pinggiran kolam kadal itu sedang mencari kegiatan baru kadal itu
sangat ingin mencoba sesuati yang baru, dia sangat ingin berpetualang ketika
dia berjalan dipinggiran kolam sambil mengeluarkan lidahnya dia melihat sesuatu
muncul dari dalam air hal pertama yang dilihat oleh kadal itu adalah sebuah
kepala yang melenggak lenggok kesana kemari seperti sedang mencari sesuatu
kemudian kadal itu mendekati mahkluk yang muncul dari dalam air itu dan dia
sedikit kaget ternyata dia melihat seekor ular air.
Ketika
itu ular air juga melihat kehadiran sang kadal lalu mendekatinya, setelah
sampai dekat dengan sang kadal ular itu meninggikan kepalanya dan berkata :”Apa
yang sedang dilakukan oleh seekor kadal gemuk ini dipinggiran kolam?” kadal itu
menjauh dari sang ular karena dia takut dimangsa olehnya “Aku hanya sedang
mencari kegiatan baru, aku hanya ingin mencari sebuah petualangan”. Kata sang
kadal. “Kenapa kau menghindar dariku? Aku tidak memakan mu aku telah kenyang
memakan ikan kecil yang ada di kolam itu” kata sang ular “jadi kau ingin sebuah
petualangan yang seru” kata ular sambil mendesis “Ya itu benar aku ingin sekali
mencoba sesuatu yang baru” kata sang kadal dengan penuh semangat “apa kau
pernah melewati kolam ini sendiri?” Tanya sang ular.
“Aku tidak pernah
melewatinya kolam ini terlalu luas untuk aku sebrangi meskipun aku bisa sedikit
berenang tapi aku takut untuk menyebrangi kolam ini dari satu tepian ketepian
lainnya”. Jawan sang kadal “apa kau mau menyebaranginya aku akan membantunya”
ajak sang ular. Sang kadal sangat ingin sekali menyebranginya dan tanpa
berpikir panjang kadal itu menerima ajakan dari sang ular “Baiklah kalo begitu
carilah sesuatu yang bisa dijadikan sebagai tali!” Pinta sang ular “Untuk apa
tali itu?” Tanya sang kadal dengan heran “Tali itu untuk kau ikatkan ke ekorku
ketika kita berenang menyebrangi kolam ini kau tidak akan tenggelam, aku akan
menarikmu kepermukaan”. jelas sang ular.
Lalu sang kadal mencari tali di pinggiran kolam
dan dia mendapatkan nya, setelah itu sang kadal menalikan kaki depannya ke ekor
sang ular dengan sangat kuat. Selesai itu kini sang ular dan sang kadal
berenang menyebrangi kolam luas itu namun di tengah-tengah kolam sang ular
berpikir untuk menenggelamkan sang kadal sebelum mencapai tepian, ketika hal
itu akan dilakukan oleh sang ular tiba-tiba tibuhnya tertarik ke atas dia
mencoba melepaskan diri dengan sekuat tenaga namun hal itu percuma ternyata
sang kadal disambar oleh seekor burung alap-alap sehingga tubuh ular itu
bergelantungan di udara. Saat itu sang alap-alap melihat bukan hanya kadal saja
yang dia tangkap namun begitu juga seekor ular air dimana ekornya terikat pada
kaki sang kadal.
KERA
YANG CERDIK
Musim hujan sudah datang seminggu
terakhir. Kera-kera yang tinggal di lereng gunung sedang bingung. Mereka
bingung, haruskan mencari tempat lain yang aman? Atau mengungsi ke rumah-rumah
warga kampung di bawah lereng? Mereka tahu, tanah di lereng gunung telah gundul
dan kera-kera cerdik itu merasa sebentar lagi akan longsor karena hujan.
Di hutan dalam lereng
gunung tempat tinggal kera-kera itu, hiduplah seekor ular piton besar. Ular
piton adalah pemangsa yang hebat. Ia membuat sarang di bekas pohon yang
ditebang. Ular piton hidup menyendiri, sepi, dan menunggu sesuatu untuk
dimangsa. Saat lapar tiba, ular piton berwarna cokelat motif batik itu keluar
dari sarang.
“Mendung!” gumam si
piton. “Mulai gerimis! Sebentar lagi hujan pasti lebat. Aku suka sekali. Saat
seperti ini banyak sesuatu yang bisa kumangsa.”
Ular itu tahu setiap
hujan turun binatang-binatang penghuni hutan di lereng gunung hanya bisa
berteduh, kadang di bawah pohon, kadang di goa-goa kecil tempat persembunyian
mereka. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan selain berteduh menunggu hujan
reda.
Si piton segera
melata, mengendus aroma daging calon mangsanya. Lidahnya menjulur-julur lucu.
Saat berjalan santai di bawah hujan, si piton pun melihat seekor kera mungil
yang sedang berteduh di bawah pohon aren. Kera itu menggigil.
“Ah, santap siang
yang enak ini,” gumam Piton. Ia sudah membayangkan kelezatan setiap inci tubuh
kera yang renyah. Pasti gurih! batinnya. Andai saja semua itu bisa dilakukannya
dengan mudah. Kemudian ia mencari-cari strategi untuk segera menyergap si kera
agar tepat sasaran.
Sesampainya di dekat
kera mungil itu, si piton mendengar si kera sedang merintih, seperti kesakitan.
Si piton tiba-tiba berubah pikiran. Ah, sakit apa dia? Tanya Piton dalam hati.
Piton kembali melata
mendekati kera yang menggigil dan merintih sendirian.
“Hei, Kera? Kau
menggigil? Kau merintih? Kau sakit? Demam?” tanya Piton setelah menampakkan
diri di depan kera mungil itu.
“Piton? Kau membuatku
kaget. Mau ke mana kau, hujan-hujan begini?”
“A-aku. Aku mau lewat
saja. Aku suka hujan-hujanan. Karena aku bisa bermain air. Kau belum jawab
pertanyaanku, Kawan?” kata Piton lagi.
“Hmm, ya, kakiku
memang sedang sakit. Seseorang tadi membuat jebakan di ujung hutan. Aku sempat
terjepit jebakan besi. Aku dikira tikus apa, ya? Dijebak dengan benda mirip
jebakan tikus. Lihat ini, kakiku luka. Untung aku bisa melepaskan diri,” rintih
Kera.
“Aih, lukamu lumayan
parah, Kawan. Darah masih mengucur, tuh! Kalau kau tak bersihkan bisa membusuk
kakimu.”
“Benar juga. Akan ada
banyak kuman sepertinya. Dan sekarang aku sudah merasakan ada kuman-kuman
menjalar di tubuhku. Ah, jangan-jangan sebentar lagi aku mati membusuk,
berbelatung. Bagaimana ini, Piton? Ah, kenapa kau tak makan aku saja?
Cepatlah!” kata Kera memelas.
Piton sedikit
bimbang. Ia merasakan dilema, perutnya memang lapar, tetapi ia jijik
membayangkan kera itu sudah dipenuhi kuman yang sebentar lagi membusuk.
“Ah, tidak, tidak.
Aku tak tega, Kawan. Kau sedang teraniaya. Tak boleh memangsa lawan yang sedang
teraniaya.”
Padahal dalam hati,
Piton takut kalau kuman dalam kera itu akan berpindah ke tubuhnya. Selera makan
Piton hilang seketika.
“Oh, begitukah,
Kawan?”
“Ya, tentu saja!’
“Baiklah, kalau
begitu aku akan mencari air di sungai untuk membersihkan lukaku ini. Boleh aku
pamit?”
“Baiklah. Kau tenang
saja, Kawan. Lain kali aku tak akan memburumu. Meskipun kau sudah sehat
kembali.”
“Kau janji, Piton?”
“Iya. Aku janji.
Sana, pergilah. Sembuhkan lukamu dulu. Aku pun mau melanjutkan perjalananku.
Aku mau cari tupai saja. Sebenarnya aku sedang lapar,” ujar Piton.
“Hmm, baiklah.
Selamat berburu, Kawan! Semoga kau dapat tupai yang gemuk.”
“Terima kasih, Kera.”
Ular piton itu melata
lebih dulu, meninggalkan kera mungil yang cerdik. Si Kera kini terbengong-bengong.
Dalam hati ia tertawa sambil berkelakar, “Begitu mudah menyelamatkan diri dari
ancaman ular. Tak kusangka, meski tampilannya menyeramkan kadang ia baik juga.
Pantas, sekarang ular-ular seperti piton itu sering diburu manusia, dijadikan
binatang peliharaan. Ya, ternyata mereka memang lucu dan sedikit dungu. Mungkin
karena itulah mereka mudah dijinakkan. Ah, terserah saja lah.”
BADAK PEMBOHONG
Badak sebenarnya hewan yang baik. Ia suka berbagi makanan
pada hewan lain. Sayangnya, ia sangat suka berbohong, meskipun hal itu
dilakukannya sekadar iseng. Ternyata, keisengannya ini merugikan dirinya dan
hewan lain.
Di siang hari yang terik, kambing sedang tidur-tiduran di
bawah pohon besar. Suasana yang teduh dan hawa yang sejuk membuat kambing
hampir tertidur. Tiba-tiba, badak datang dan mengagetkannya.
“Hoi, kambing!!!” teriak badak lantang. “Mengapa engkau
malah enak-enakan tidur di sini, sementara teman-temanmu sedang bersusah payah
memperbaiki rumahmu yang rusak tertimpa pohon!?”
Mendengar hal itu, si kambing pun terkejut.
“Yang benar, badak. Waktu aku pergi, rumahku masih baik-baik saja.”
”Kejadiannya belum begitu lama,” kata badak.
Perkataan badak yang sangat meyakinkan membuat
kambing terpengaruh dan percaya. “Kalau begitu, aku harus segera pulang. Terima
kasih atas informasimu.”
Begitu kambing pergi menjauh, si badak tertawa
terbahak-bahak. “Kambing itu rupanya tak tahu sedang aku bohongi. Ha… ha… ha….”
Rupanya, si badak berbohong agar ia bisa
berteduh di bawah pohon besar Itu.
Di lain waktu, ketika si badak ingin berendam
di sungai, di situ ternyata sudah ada sekelompok bebek yang sedang bermain. Si
badak pun merencanakan kebohongan lain agar bisa menguasai sungai itu dan
berendam dengan leluasa.
”Hai, bebek. Berani sekali kau mandi di sungai
ini. Apa kau tidak takut dimakan buaya!?” seru badak dengan lantang dari tepi
sungai.
“Mana ada buaya di sini? Kami sudah lama mandi
di sungai ini dan belum pernah sekali pun bertemu buaya,” bantah bebek.
“Buaya itu memang baru tinggal di sungai ini
kemarin. Aku melihatnya sendiri. Dia tinggal di gua pinggir sungai itu.
Sekarang ia pasti sedang tidur. Kalau nanti bangun, ia pasti kelaparan dan akan
memangsa kalian.”
”Benarkah begitu?” tanya bebek-bebek itu
serentak.
“Terserah kalian mau percaya atau tidak. Yang
penting, aku sudah memberi tahu kalian. Kalau kalian tidak menghargai niat
baikku, ya tidak apa-apa,” kata badak.
Setelah berkata demikian, si badak pun
pura-pura berjalan pergi. Ia bersembunyi di balik semak-semak di tepi sungai.
Ternyata, tipuannya kali ini juga berhasil. Bebek-bebek itu keluar dari sungai
dan pergi menjauh. Setelah bebek-bebek itu tidak tampak lagi, barulah si badak
keluar dari tempat persembunyian dan berendam di sungai.
Begitulah tingkah laku si badak. Hampir setiap
hari ada saja hewan di hutan yang dibohongi demi kepentingannya sendiri.
Akhirnya, semakin banyak hewan yang tidak percaya lagi kepadanya.
Suatu hari, di hutan tempat badak tinggal,
hujan turun dengan sangat deras. Angin pun bertiup kencang. Tidak ketinggalan
petir sambar-menyambar. Akibatnya, banyak pohon di hutan roboh. Saat hujan
mengganas, badak sedang berada di dalam gua, tempat tinggal beruang. Ia pun
baru pulang ke rumah saat hujan reda.
Sesampai di depan rumah, badak sangat terkejut mendapati
tempat tinggalnya hancur tertimpa pohon. Karena panik, si badak berlari mencari
bantuan kepada hewan-hewan lain di hutan. Sayangnya, mereka tidak lagi percaya
pada kata-kata si badak.
“Tolonglah, rumahku hancur tertimpa pohon.
Bantu aku memperbaiki rumahku,” kata badak setengah menangis.
“Sudahlah. Biar pun kau menangis sampai air
matamu habis, tak akan ada hewan di hutan ini yang percaya lagi kepadamu,” kata
kambing ketika badak mendatanginya.
Ketika badak mendatangi kerbau, jawabannya pun tak Jauh
berbeda.
“Kali ini, aku tidak bohong,” kata badak
meyakinkan.
“Kami sudah tidak bisa membedakan kapan kau
bohong dan tidak,” kata gajah saat badak meminta tolong kepadanya.
Lelah meminta pertolongan, si badak cuma bisa
menangis. Malam itu, ia harus tidur di luar. Tubuhnya pun kedinginan. Selain
itu, besoknya ia harus membangun rumahnya sendiri, tanpa bantuan dari
kawan-kawannya.
SI KELINCI DAN SI ANJING
Disebuah perkebunan jagung yang cukup
luas terdapat seekor anjing petani sedang mencari kelinci yang berkeliaran
untuk dimangsa. Anjing itu dilatih untuk mengejar hewan pengganggu perkebunan
jagung ketika jagung masih muda. Daun jagung itu sering dimakan oleh kelinci
sehingga tanaman jagung itu tidak dapat tumbuh dengan baik dan jika tanaman itu
tidak tumbuh dengan baik hasil panen jagung juga akan sangat berkurang, maka
dari itu sang petani menempatkan seekor anjing terlatih di perkebunan itu.
Setiap hari anjing itu berkeliaran memeriksa hewan pengganggu tanaman jagung di
perkebunan petani.
Pada suatu pagi
anjing itu bangun dari tidurnya kemudian dia berjalan mengitari perkebunan
jagung itu sambil mengendus-ngendus bau hewan lain dengan hidung nya, penciuman
anjing itu sangat tajam bahkan anjing itu mampu mencium bau kelinci dari jarak
yang sangat jauh, ketika dia berjalan anjing itu mencium bau kelinci dari
kejauhan anjing itu mengikuti arah bau itu sampai akhirnya dia melihat seekor
kelinci sedang asik memakan pucuk jagung yang masih muda. Anjing itu berjalan
perlahan mendekati kelinci tersebut ketika dia sudah sangat dekat dengan
kelinci itu sang anjing langsung mengejarnya dengan sangat cepat, namun sang
kelinci mendengar langkah anjing itu karena kelinci memiliki telinga yang
panjang dan sangat peka terhadap suara. Kelinci itu menhindari sang anjing
dengan cepat dia melompat dengan sangat cepat dan lompatan kelinci itu sangat
jauh.
Sang anjing terus
mengejarnya meskipun kelinci itu semakin menjauh dari jarak sang anjing namun
sang anjing tidak menyerah begitu saja. Anjing itu memiliki kemampuan berlari
tanpa henti sehingga dia mampu mengejar sang kelinci tanpa kelelahan. Meskipun
demikian sang kelinci yang sangat cepat melompat menghindari kejaran anjing itu
membuat anjing itu kehilangan jejaknya, anjing itu mulai mengendus-ngendus bau
sang kelinci dan tidak lama kemudian dia menemukan kelinci itu kini dia
mengejarnya lebih cepat dari sebelumnya namun sang kelinci itu tidak dapat dia
kejar hingga akhirnya anjing itu menyerah dan tidak melakukan pengejaran
terhadap kelinci itu lagi. Ternyata kejadian itu ditonton oleh seekor burung
gagak yang sedang bertengger di sebuah pohon yang daunnya sedang gugur ketika
anjing itu melewati pohon tersebut sang gagak bertanya kepadanya “Ternyata
kelinci itu lebih kencang dibandingkan dengan dirimu” kemudian sang anjing
berkata dengan tenang “Apa kau tidak melihat perbedaan yang begitu mencolok
antara aku dengan kelinci itu?” sang gagak menjawab “aku tidak melihat
perbedaan itu, memang apa perbedaan yang kau maksudkan itu?” Sang anjing
menjawab “Aku berlari untuk menangkap makanan sedangkan dia berlari
mempertahankan hidupnya, sebuah keinginan akan menentukan kerasnya sebuah
usaha”.
BUAYA YANG INGIN MENYANTAP GAJAH
Pak Buaya terkenal sebagai hewan yang rakus dan serakah.
Setiap hari, tak kurang dari seekor kambing atau sepuluh ekor bebek disantapnya.
Hal ini tentu meresahkan hewan lain yang sering mencari makan dan minum di
pinggir sungai. Kerakusan Pak Buaya membuat mereka harus sangat hati-hati agar
tidak menjadi santapannya.
Hewan-hewan yang gelisah dan merasa terancam
ini pun berkumpul untuk mengadakan pertemuan. Pak Kambing ditunjuk memimpin
rapat itu. Ia dianggap lebih pintar di antara hewan lain.
“Jalan satu-satunya agar kita selamat dan
hidup tenang adalah menyingkirkan Pak Buaya dari sungai,” ujar Pak Kambing saat
membuka rapat.
“Benar, Pak Kambing. Cuma kami tak tahu
caranya. Apalagi, Pak Buaya sangat buas. Tak seekor hewan pun yang berani
kepadanya,” seru tupai lantang.
“Nah, untuk itulah kita semua berkumpul di
sini. Masalah ini harus kita pecahkan bersama,” sahut bebek.
“Bagaimana kalau kita lawan saja? Kalau kita
semua yang ada di sini bersatu untuk melawannya, Pak Buaya pasti kalah,” usul
sapi.
Pak Kambing menggelengkan kepala tanda tidak
setuju.
“Kita tidak akan melawan kekerasan dengan
kekerasan. Bisa-bisa, kita semua akan binasa dan mati dengan sia-sia.”
“Benar kata Pak Kambing. Kita semua pasti akan
kalah, apalagi Pak Buaya juga memiliki banyak teman. Mereka akan menganggap
kita semua sebagai hidangan pesta yang lezat,” kata bebek lagi.
Akhirnya, semua hewan yang ada di dalam rapat
itu terdiam dan mulai berpikir mencari cara yang tepat untuk mengalahkan Pak
Buaya.
“Aku tahu apa yang harus kita lakukan!” seru
Pak Kambing memecah keheningan.
“Ide Pak Kambing pasti cemerlang,” kata sapi
tak sabar.
“Begini, kita semua tahu, Pak Buaya adalah
hewan yang rakus. Namun, kita juga tahu, ia adalah hewan bodoh. Besok, aku akan
pergi ke pinggir sungai. Aku akan memintanya menemui gajah.”
“Hati-hati, jangan sampai engkau yang menjadi
santapan Pak Buaya!” seru kelinci memperingatkan.
Keesokan hari, Pak Kambing pergi ke pinggir sungai untuk
menjalankan idenya. Ia memang sengaja berlama-lama menunggu kehadiran Pak Buaya
sambil selalu waspada. Pak Kambing tidak ingin dirinya dijadikan santapan Pak
Buaya.
Pak Buaya akhirnya muncul dan berjalan menuju
ke arah Pak Kambing. Sebelum dekat, Pak Kambing segera menyapanya. “Hari ini
kau pasti sangat lapar. Namun, kalau kau menyantapku sekarang, dirimu pasti
akan menyesal. Soalnya, aku tahu tempat hewan yang sangat besar yang bisa
membuatmu kenyang dan tidak makan selama satu minggu.”
“Oh ya, di mana itu?” Pak Buaya yang rakus
memang selalu tidak sabar kalau mendengar makanan yang banyak.
“Tenang dulu, Pak Buaya. Tidak usah
terburu-buru. Hewan itu bernama gajah. Ia tinggal di hulu sungai ini. Memang
agak jauh dari sini. Akan tetapi, kalau kau sudah menemukannya, aku jamin kau
suka. Jumlah mereka sangat banyak sehingga kau tidak perlu khawatir kelaparan.
Kalau dibandingkan dengan yang ada di sini, jauh sekali. Hewan di sini
kecil-kecil dan jumlahnya semakin sedikit karena kau selalu memangsanya,” kata
Pak Kambing.
”Baiklah. Aku harap engkau tidak berbohong.
Aku akan datang ke sana. Toh, tempat itu tidak terlalu jauh. Aku cukup berenang
selama empat hari saja. Terima kasih atas informasimu, Pak Kambing,” ujar Pak
Buaya senang.
Tanpa membuang waktu, Pak Buaya berenang
menuju hulu sungai. Meski belum pernah bertemu dengan gajah, Pak Buaya sangat
yakin akan menemukan hewan itu dengan mudah. Setelah menempuh perjalanan yang
panjang, Pak Buaya melihat sekelompok hewan bertubuh besar sedang minum di
sungai. Wajah Pak Buaya terlihat gembira.
“Inilah hewan yang diceritakan Pak Kambing.
Mereka memang sangat besar. Sekali santap, aku pasti akan merasa kenyang selama
satu minggu,” pikir Pak Buaya.
Pak Buaya pun berjalan mendekat ke arah
gajah-gajah itu. Sebelum sampai di tempat yang dituju, seekor gajah telah
melihatnya. Sadar akan bahaya yang mengancam, salah satu dari gajah yang paling
besar mendekati Pak Buaya dan menginjak Pak Buaya dengan salah satu kakinya.
Karena tidak diduga, Pak Buaya tidak sempat
menghindar atau melakukan perlawanan. Pak Buaya akhirnya mati karena tubuhnya
diinjak sang gajah.
DUA EKOR KAMBING YANG SOMBONG
Tak terasa sudah seharian Si Tanduk berdiri di tepi
sungai. Ternyata, ia sedang berkaca di air dan mengagumi tanduknya yang besar
dan melengkung.
”Aku memang gagah. Tidak ada seekor kambing
pun di sini yang memiliki tanduk seperti aku.”
Seperti itulah yang dilakukan si kambing
sombong setiap hari. Ia memang memiliki tanduk yang indah. Tak heran jika
teman-temannya menjulukinya “Si Tanduk”. Namun, karena kesombongannya itu, tak
ada seekor kambing pun yang mau berteman dengannya. Setiap ada yang mendekati,
Si Tanduk selalu membanggakan tanduknya.
“Tidakkah kau mau mengagumi sejenak tandukku
yang indah ini,” kata Si Tanduk pada domba yang kebetulan berpapasan dengannya.
“Untuk apa, yang aku butuhkan sekarang ini
adalah rumput segar karena aku lapar. Lebih baik kau cari saja kambing lain,”
jawab si domba dengan wajah kesal sambil beranjak pergi menuju lapangan rumput.
Si Tanduk pun beranjak ke arah berlawanan
dengan si domba. Ia berharap bertemu dengan kambing lain untuk memamerkan
tanduknya.
Tak lama setelah itu, empat ekor anak kambing
tampak berjalan ke arahnya. Hati Si Tanduk pun sangat senang.
“Anak-anak kambing itu pasti akan kagum
melihat tandukku,” pikirnya sambil tersenyum.
Sayangnya, keempat anak kambing itu malah
berlari berbalik arah meninggalkan Si Tanduk. Keempat anak kambing itu rupanya
sudah bosan dengan perilaku si Tanduk yang suka pamer.
“Hai… kalian akan rugi kalau tidak melihat
tandukku hari ini!” teriak Si Tanduk.
”Justru kami yang rugi sudah membuang waktu
untuk mendengar kesombonganmu,” jawab keempat anak kambing Itu serempak.
Karena merasa tidak ada lagi kambing lain mau
mengagumi tanduknya, Si Tanduk berniat pergi ke seberang sungai. Ia ingin
memamerkan tanduknya pada kambing-kambing yang ada di sana. Sayangnya, sungai
itu tidak berjembatan sehingga Si Tanduk tidak dapat menyeberang.
Namun, suatu hari terjadi angin topan sehingga
banyak pohon yang tumbang. Kebetulan, sebuah pohon kelapa yang tinggi tumbang
dan jatuh melintang di atas sungai. Karena batangnya menjangkau tepian sungai
yang lain, pohon tersebut bisa digunakan sebagai jembatan. Keinginan Si Tanduk
pun terkabul. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan bagus ini, ia segera menuju
sungai.
Baru saja kakinya sampai di jembatan, dalam
waktu yang sama, seekor kambing dari seberang Juga menginjakkan kakinya di
ujung jembatan satunya.
“Hei, Minggir! Aku mau lewat!” seru Si Tanduk berteriak
lantang.
”Untuk apa aku harus minggir? Aku sudah
terlebih dahulu menginjakkan kakiku,” sahut kambing di seberang tak kalah
lantang. Keduanya saling berpandangan sejenak dengan mata melotot.
“Tidakkah kau takut pada tandukku yang besar
ini?” Si Tanduk mulai menyombongkan diri.
“Harusnya kau yang takut padaku. Lihatlah
tubuhku ini. Lebih besar darimu, bukan? Aku pasti lebih kuat.” Ternyata,
kambing ini pun sama sombongnya dengan Si Tanduk.
Karena tidak ada yang mengalah, kedua kambing
itu mulai melangkah maju. Mereka pun bertemu di tengah-tengah jembatan pohon
kelapa itu. Mata keduanya sama-sama garang.
“Jadi, kau benar-benar tidak mau mundur!
Berarti kau telah siap menanggung risikonya. Rasakanlah kehebatan tandukku ini”
seru Si Tanduk sambil berlari ke arah lawannya.
Tanpa mengenal rasa takut. serudukan Si Tanduk
dilayani si kambing besar itu. Karena dua kekuatan besar bertemu, hasilnya pun
menakjubkan. Keduanya sama-sama jatuh ke sungai. Karena tidak dapat berenang,
keduanya terseret arus sungai yang deras.
KUCING YANG CERDIK
Anjing dikenal memiliki penciuman tajam. Kemampuan anjing
mencium keberadaan hewan-hewan di hutan tentu saja dimanfaatkan sebaik-baiknya
oleh pemburu. Akibatnya, tak satu hewan pun yang bisa lolos dari kejaran
pemburu.
Hal tersebut tentu saja meresahkan Prabu Macan.
Raja hutan ini sangat sedih memikirkan nasib rakyatnya. Setiap hari, selalu
saja ada hewan di hutan yang ditangkap oleh pemburu.
“Hari ini, si kembar babi hutan tertangkap
pemburu,” lapor monyet dengan terengah-engah karena kelelahan, melompat dari
satu pohon ke pohon lain untuk melapor ke Prabu Macan.
Pada hari sebelumnya, burung nuri dan kelinci
juga melaporkan nasib sahabat-sahabatnya.
”Kasihan si rusa. Anjing pemburu itu berhasil
mengendus tempat rusa beristirahat sehingga pemburu-pemburu itu dengan mudah
memanah si rusa hingga mati,” kata burung nuri.
”Semakin lama, jumlah kancil yang ada di hutan
ini akan habis. Merekalah yang paling sering menjadi sasaran pemburu,” tambah
kelinci, sahabat si kancil ikut memberi laporan.
Melihat keadaan ini, Prabu Macan pun memanggil
seluruh penghuni hutan untuk berkumpul. “Kita tidak bisa membiarkan warga hutan
habis diburu. Untuk itu, kita harus melakukan sesuatu.”
“Setuju!!!” seru semua yang hadir kompak.
“Namun, apa harus kita lakukan?” tanya
kelinci.
”Kita harus menyingkirkan anjing itu,” sahut
serigala.
Prabu Macan pun berpikir sejenak. “Usul
serigala memang tepat, tetapi siapa yang sanggup melakukannya? Apalagi, si
anjing itu selalu berada dekat dengan si pemburu,” kata Prabu Macan kepada
warganya.
Suasana pun hening. Tak satu pun hewan yang
berani mengajukan diri untuk menyingkirkan si anjing.
Tiba-tiba….
“Serahkan saja semuanya pada hamba,” kata
kucing lantang.
Mendengar perkataan kucing, semua hewan yang
hadir tertawa terbahak-bahak.
“Kau ini lucu sekali kucing. Aku berjanji,
kalau kau bisa melenyapkan anjing pemburu itu, aku akan memakan kotoranmu. Ha…
ha… ha,” kata Prabu Macan sambil tertawa.
Merasa diremehkan, malam itu kucing menyusup
ke istana tempat anjing pemburu itu tinggal. Si kucing ingin membuktikan bahwa
perkataannya dapat dipertanggungjawabkan. Ia memang merasa mampu untuk
mengalahkan anjing.
Sesampai di dalam istana, kucing melihat anjing sedang
makan bersama tuannya. Dengan hati-hati, kucing merayap masuk ke dalam. Namun,
gerak-gerik kucing ini tercium oleh anjing pemburu. Seketika itu, mata si
anjing melotot dan tak henti-henti menyalak.
“Guk… guk… guk.…!!!”
Tingkah-laku si anjing membuat tuannya heran.
Ia berpikir hewan peliharaannya ini sedang kelaparan. Jadi, tulang-tulang pun
dilemparkan ke arah hewan tersebut. Meski sudah diberi banyak tulang, si anjing
tetap menyalak.
“Apa lagi maumu? Bukankah tulang-tulang itu
sudah cukup banyak?” tanya tuannya keheranan.
Kucing pun melompat pada tiang di belakang
kursi tempat si pemburu duduk. Dengan senyuman mengejek, ia menggoda anjing
tersebut.
“Tak bisakah kau menangkapku hewan pemalas?”
Perkataan kucing membuat anjing marah besar.
Tanpa pikir panjang, si anjing memburu kucing dengan membabi-buta. Karena
kepandaian si kucing untuk menghindar, terjangan anjing justru menuju sang
tuan.
Hal ini tentu saja membuat si pemburu marah
besar. Bahkan, ia mulai berpikir anjingnya terkena penyakit gila dan berbahaya.
Saat itu juga, si pemburu mengambil pedang panjang dan menghunusnya tepat di
dada si anjing. Anjing pun mati seketika itu.
Setelah berhasil memperdaya si anjing, kucing
tidak berani kembali ke hutan. Dia ingat janji Prabu Macan yang akan memakan
kotoran si kucing.
“Kalau sekarang ia makan kotoranku, bisa jadi
suatu saat aku yang akan dimakannya,” pikir kucing.
Jadi, sampai saat ini kucing selalu menutupi
kotorannya dengan tanah agar tak tercium oleh Prabu Macan.
BURUNG PUYUH YANG CERDIK
Pada suatu masa, manusia, hewan, dan pohon dapat saling
berkomunikasi satu dengan yang lain. Saat itu jugalah hidup seorang yang sangat
kejam bernama Pak Sugeak. Ia hidupsendiri di sebuah rumah besar di pinggir
hutan. Meski kaya-raya, ia sangat serakah sehingga semua makhluk enggan
berkawan dengannya.
Tidak jauh dari rumah Pak Sugeak, hiduplah
seekor burung puyuh. Suatu hari, burung puyuh, yang sedang mencari makan dengan
mengais-ngais tanah mencari cacing, dikejutkan seruan Pak Sugeak.
“Pergi kau burung kecil kotor! Jangan ganggu
cacing-cacing itu. Mereka sedang menggemburkan kebunku. Kalau mereka kau makan,
kau yang akan aku suruh untuk menggantikan pekerjaan cacing-cacing itu.”
Sang burung puyuh rupanya sakit hati dengan
kata-kata Pak Sugeak. Tanpa berpikir lama, ia mendatangi kancil sahabatnya yang
terkenal cerdik untuk meminta nasihat.
“Cil, tingkah-laku Pak Sugeak sudah
keterlaluan, dia merasa semua yang di dunia ini miliknya. Dia sudah sangat
serakah. Kita harus berbuat apa untuk menghentikannya? Biasanya, kau punya ide
yang hebat, sahabatku,” kata burung puyuh.
“Maaf, kawan. Aku rasa Pak Sugeak terlalu kuat
untuk dilawan,” kata Kancil menyerah.
“Cil, tidak ada makhluk yang lebih kuat
daripada Tuhan. Jadi, aku yakin pasti ada sesuatu yang bisa mengalahkan Pak
Sugeak. Itulah yang harus kita cari,” kata burung puyuh memberi keyakinan.
Sebatang pohon kopi yang berada di sana ikut
bersuara. “Benar yang dikatakan burung puyuh itu. Aku juga sudah tak tahan
dijadikan tempat untuk mengikat kambing-kambingnya. Lihatlah badanku, bengkak
dan lecet semua.”
“Ternyata, bukan aku saja yang sakit hati pada
Pak Sugeak. Aku pikir, kita semua bisa bekerja sama untuk melawannya,” kata
puyuh lagi.
”Itulah yang sejak dulu aku pikirkan. Pak
Sugeak terlalu kuat dan pintar. Walaupun kau dan aku bersatu, kita tidak akan
bisa menang,” ucap si pohon kopi yang sudah ragu.
“Kawan-kawan, bukan hanya kalian yang ingin
memberi pelajaran buat Pak Sugeak. Aku juga ingin. Apalagi, banyak temanku yang
dijadikan tungku dan dijual oleh Pak Sugeak.” Kali ini si tanah liat ikut
berbicara.
Si burung puyuh pun berpikir sejenak. Setelah
itu, dia berseru, ”Kalau begitu, kita semua harus bersatu!”
Selanjutnya, burung puyuh mengajak ketiga
temannya Itu untuk lebih mendekat. Dia ingin membisikkan sesuatu. Setelah
mendengar ide dari burung puyuh, ketiganya mengangguk setuju.
Saat hari menjelang tengah malam, mereka sudah
berada di rumah Pak Sugeak. Ketika orang itu sudah tidur, si batang kopi
mengetuk pintu rumah sangat keras. Dengan mata setengah terpejam, Pak Sugeak
menuruni tangga rumah hendak membuka pintu. Ketika kakinya menyentuh anak
tangga terakhir, tiba-tiba tubuh lelaki kejam itu tergelincir karena menginjak
si tanah liat licin yang dengan sengaja berada di sana.
Dengan menahan rasa sakit, Pak Sugeak mencoba
untuk bangun. Namun, belum sempat berdiri, wajah Pak Sugeak terkena hantaman
kuku tangan si kancil. Akibatnya, mata kanan orang itu tidak bisa melihat.
Sambil terhuyung-huyung, ia masih berusaha mencari-cari sesuatu di dapur.
Saat itulah burung puyuh mengepakkan sayapnya
dengan keras sehingga abu dapur beterbangan dan masuk ke mata kiri Pak Sugeak.
Lelaki itu pun berteriak menahan sakit. Tak lama kemudian, batang kopi datang
dan memukul tubuh Pak Sugeak dari belakang hingga jatuh terkapar.
“Apakah kau masih bisa berlaku kejam, Pak Sugeak!?” seru
burung puyuh.
“Siapa kalian?” tanya Pak Sugeak.
“Kami semua adalah korban kejahatanmu,” tambah
si kancil.
“Baiklah, aku minta maaf. Akan tetapi, tolong
jangan sakiti aku lagi,” iba Pak Sugeak.
“Kami akan memaafkanmu, tetapi dengan satu
syarat!” kata si kancil. “Apa itu?” Pak Sugeak bertanya.
“Mulai saat ini, kau harus meninggalkan tempat
ini. Pindahlah ke tempat lain dan janganlah berbuat kejam lagi di tempat barumu
itu.”
“Kalau itu memang keinginan kalian, baiklah.
Aku akan pergi jauh dan tidak akan mengulangi kesalahanku di tempat yang baru,”
janji Pak Sugeak.
Pagi harinya, mereka pun melihat Pak Sugeak
meninggalkan rumahnya yang besar tanpa membawa harta bendanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar