Liana Arum Purwitasari

tanpa tanda jasa
SELAMAT DATANG DI BLOG LIANA ARUM PURWITASARI

Kamis, 30 April 2015

Pendidikan Karakter, Kemandirian

Fitri (2012: 21) mengemukakan bahwa pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan (habit) sehingga sifat anak akan terukir sejak dini, agar dapat mengambil keputusan dengan baik dan bijak serta mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Aunillah (2011: 18-19) pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa sehingga akan terwujud insan kamil.  Menurut Sulistyowati (2012:22) pendidikan karakter merupakan pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri siswa, sehingga mereka memiliki dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya sebagai anggota masyarakat dan warga Negara yang religius, produktif dan kreatif. 
Benninga (1991: 137) Character education is a national movement creating schools that foster ethical, responsible and caring young people by modeling and teaching good character trhough emphasis on universal values that we all share.
Pendapat Benninga dapat diartikan sebagai pendidikan karakter adalah gerakan nasional menciptakan sekolah yang mendorong etika, bertanggungjawab dan merawat orang-orang muda dengan pemodelan dan mengajarkan karakter yang baik melalui penekanan pada nilai-nilai keseluruhan.
Menurut T.Ramli (Sulistyowati, 2012: 23), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia, masyarakat, dan warga negara yang baik.

Pendidikan karakter dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut Triyono (2012: 270) pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, yaitu
1)         Pembentukan dan pengembangan potensi
2)         Perbaikan dan penguatan
3)         Penyaring.
Menurut David & Freddy (Royzah), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from whithin”.

Dapat diartikan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi.
Adisusilo (2012: 78) menjelaskan tentang ciri pendidikan karakter, yaitu:
1)        Ketentuan interior setiap tindakan diukur berdasarkan seperangkat nilai,
2)        Koherensi yang memberi keberanian, yang membuat seseorang teguh pada prinsip tidak mudah terombang ambing pada situasi,
3)        Otonomi maksudnya seseorang menginternalisasikan nilai-nilai dari luar sehingga menjadi nilai-nilai pribadi, menjadi sifat yang melekat melalui keputusan bebas tanpa paksaan dari orang lain,
4)        Keteguhan dan kesetiaan
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan suatu sistem yang melandasi pemikiran sikap dan perilaku yang ditampilkan sesuai dengan akhlak. Pendidikan karakter juga berkaitan dengan kekuatan moral yang membangun perilaku yang berkaitan dengan hal positif, bukan hal negatif. Sehingga seorang yang memiliki karakter positif terlihat dari adanya kesadaran untuk berbuat yang terbaik, serta mampu bertindak sesuai potensi dan kesadaran. Hal utama yang menjadi landasan dalam menerapkan pendidikan karakter adalah nilai moral yang dapat digali dari agama. Sehingga upaya guru untuk menerapkan karakter harus berusaha menumbuhkan nilai-nilai melalui spirit keteladanan yang nyata, bukan hanya pengajaran dan wacana.
Menurut Aunillah, ada beberapa bentuk pendidikan karakter, diantaranya adalah: jujur, disiplin, percaya diri, peduli, mandiri, gigih, tegas, bertanggung jawab, kreatif, bersikap kritis. Salah satu pendidikan karakter sesuai dengan kondisi peserta didik yang masih tergantung pada guru dan teman lain dalam menyelesaikan soal yaitu mandiri.
Desmita (2009: 185) menyatakan bahwa kemandirian mengandung beberapa pengertian, yaitu:
1)         Suatu kondisi dimana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya sendiri.
2)         Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
3)         Memiliki kepercayaan diri dan melaksanakan tugas-tugasnya.
4)         Bertanggungjawab atas apa yang dilakukan.

Menurut Seifert dan Hoffnung (Desmita, 2009: 185) mendefinisikan kemandirian atau otonomi sebagai kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas serta berusaha sendiri secara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan keraguan. Sedangkan menurut Erikson (Desmita, 2009: 185),  kemandirian adalah usaha untuk melepaskan diri dari orang tua dengan maksud untuk menemukan dirinya melalui proses mencari ego, yaitu merupakan perkembangan ke arah individualitas yang mantap dan berdiri sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa kemandirian merupakan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan pikiran, perasaan, dan tindakan secara bebas serta berusaha untuk menentukan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain untuk menyelesaikan tugas. Dengan  menyelesaikan tugas sendiri hasilnya akan lebih memuaskan dibandingkan dengan pekerjaan yang dibantu oleh orang lain. Peserta didik yang mempunyai kemandirian akan menjadikan proses pembelajaran  menjadi lancar sehingga guru juga dapat menikmati mengajarnya. Peserta didik yang mandiri nantinya akan bisa melayani kebutuhannya sendiri sekaligus bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.
Adapun pengertian kemandirian belajar seperti yang peneliti simpulkan adalah suatu perubahan dalam tingkah laku yang merupakan  hasil dari pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa kemandirian belajar adalah sebuah kemampuan untuk mengendalikan pikiran, perasaan, dan tindakan sendiri secara bebas serta berusaha untuk menentukan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain untuk menyelesaikan tugas sebagai hasil dari pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan.
a.    Bentuk-bentuk Kemandirian
Havighurst (Desmita, 2009: 186) membedakan kemandirian atas empat bentuk, yaitu:
1)        Kemandirian emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada orang lain.
2)        Kemandirian ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain.
3)        Kemandirian intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
4)        Kemandirian sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung pada aksi orang lain.
Steinberg (Desmita, 2009: 186) membedakan karakteristik kemandirian atas tiga bentuk: “The first emotional autonomy-that aspect of independence related to changes in the individual’s close relationships, especially with parent. The second behavioral autonomy-the capacity to make independent decisions and follow through with them. The third characterization involves an aspect of independence reffered to as value autonomy-wich is more than simply being able to resist pressures to go along with the demands of other, it means having a set a principles about right and wrong, about what is important and what is not.

Dapat diartikan bahwa ketiga aspek kemandirian, yaitu: “Pertama, kemandirian emosional menyatakan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu. Kedua, kemandirian tingkah laku untuk membuat keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukan secara tanggungjawab. Ketiga, kemandirian nilai memaknai prinsip tentang benar dan salah.
Menurut Erikson (Desmita, 2009: 185) yang mengatakan bahwa ciri-ciri individu yang memiliki kemandirian adalah:
1)        Dapat menemukan identitas atau nasib dirinya.
2)        Memiliki inisiatif dan kreatif.
3)        Membuat pertimbangan - pertimbangan sendiri dalam bertindak.
4)        Bertanggungjawab atas tindakannya.
5)        Mampu menahan diri atau kontrol diri.
6)        Dapat mengambil keputusan sendiri.
Sedangkan Lovinger (Desmita, 2009: 187) mengemukakan tentang tingkatan kemandirian dan karakteristiknya, yaitu:
1)        Tingkat pertama adalah tingkat impulsif dan melindungi diri. Ciri-cirinya:
a)        Peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari interaksinya dengan orang lain.
b)        Mengikuti aturan secara spontanistik dan hedonistik.
c)        Berpikir tidak logis dan tertegun pada cara berpikir tertentu (stereotype).
d)       Cenderung melihat kehidupan sebagai zero-sum games.
e)        Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkungannya.
2)        Tingkat kedua adalah tingkat konformistik. Ciri-cirinya:
a)        Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan sosial.
b)        Cenderung berpikir stereotype dan klise.
c)        Peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal.
d)       Bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian.
e)        Menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya instropeksi.
f)         Perbedaan kelompok didasarkan atas ciri-ciri eksternal.
g)        Takut tidak diterima kelompok.
h)        Tidak sensitif terhadap keindividualan.
i)          Merasa berdosa jika melanggar aturan.
3)        Tingkat ketiga adalah sadar diri. Ciri-cirinya:
a)        Mampu berpikir alternatif.
b)        Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi.
c)        Peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada.
d)       Menekankan pada pentingnya memecahkan masalah.
e)        Memikirkan cara hidup.
f)         Penyesuaian terhadap situasi dan peraturan.
4)        Tingkat keempat adalah tingkat saksama (conscientious). Ciri-cirinya:
a)        Bertindak atas dasar nilai-nilai internal.
b)        Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan.
c)        Mampu melihat keragaman emosi, motif dan perspektif diri sendiri maupun orang lain.
d)       Sadar akan tanggungjawab.
e)        Mampu melakukan kritik dan penilaian diri.
f)         Peduli akan hubungan mutualistik.
g)        Memiliki tujuan jangka panjang.
h)        Cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial.
i)          Berpikir lebih kompleks dan atas dasar pola analitis.
5)        Tingkat kelima adalah tingkat individualitas. Ciri-cirinya:
a)        Peningkatan kesadaran individualitas.
b)        Kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dan ketergantungan.
c)        Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain.
d)       Mengenal eksistensi perbedaan individual.
e)        Mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam kehidupan.
f)         Membedakan kehidupan internal dengan kehidupan luar dirinya.
g)        Mengenal kompleksitas diri.
h)        Peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.
6)        Tingkat keenam adalah tingkat mandiri. Ciri-cirinya:
a)        Memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan.
b)        Cenderung bersikap realistik dan objektif terhadap diri sendiri dan orang lain.
c)        Peduli terhadap pemahaman abstrak, seperti keadaan sosial.
d)       Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan.
e)        Toleran terhadap ambiguitas.
f)         Peduli akan pemenuhan diri (self-fulfilment).
g)        Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal.
h)        Responsif terhadap kemandirian orang lain.
i)          Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain.
j)          Mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.
Hiemstra (Nurhayati, 2011: 147) menjelaskan karakteristik peserta didik yang mandiri, yaitu:
1)        Hubungan antara guru dengan peserta didik tetap ada, tetapi bukan hubungan ketergantungan
2)        Mengetahui kapan harus minta tolong dan membutuhkan bantuan,
3)        Mengetahui kepada siapa dan dari mana memperoleh bantuan,
4)        Mengetahui kapan perlu menggunakan media belajar,
5)        Mengetahui cara menggunakan media.
Nurhayati (2011: 148) menyatakan ada beberapa prinsip dalam kemandirian belajar, yaitu:
1)        Fokus pembelajaran berubah dari mengajar kepada belajar,
2)        Ada usaha untuk mempengaruhi diri peserta didik,
3)        Ada dukungan dan kerjasama teman sebaya,
4)        Digunakan untuk penilaian sendiri atau teman,
5)        Menekankan penuh pada perbedaan individual.
Kemandirian tidak hanya saat merencanakan belajar saja, melainkan yang paling utama dituntut memiliki kemandirian dalam mengikuti proses belajar. Peserta didik mempunyai kebebasan untuk memutuskan tujuan apa yang hendak dicapai. Dengan kemandirian belajar, memungkinkan peserta didik dapat mentransfer pengetahuan konseptual kepada situasi baru, menghilangkan pemisah antara pengetahuan di sekolah dengan realitas kehidupan keseharian.
Dari uraian tersebut, secara rinci indikator kemandirian belajar dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 2.1
Indikator Kemandirian Materi Contoh Perundang-undangan
No
Indikator
1.
Memiliki keinginan dan kesadaran yang kuat untuk belajar
2.
Memiliki tanggungjawab dalam setiap tindakan dan aktivitas belajar
3.
Memiliki inisiatif dan kreatif
4.
Memiliki kepercayaan diri dan disiplin dalam melaksanakan tugas-tugas secara mandiri
5.
Mampu mengatur perasaan emosi

Menurut Aunillah (2011: 72-75), langkah-langkah yang dilakukan oleh guru untuk membentuk peserta didik agar tumbuh menjadi sosok yang berkarakter mandiri diantaranya adalah sebagai berikut :
1)        Beri bekal keterampilan untuk mengurus diri sendiri
2)        Bentuk kegiatan-kegiatan sekolah yang merangsang sikap mandiri
3)        Minta kepada peserta didik untuk membuat program kegiatan positif
4)        Biarkan peserta didik mengatur waktunya sendiri
5)        Peserta didik diberi tanggungjawab
6)        Mewujudkan kondisi badan yang sehat dan kuat
7)        Beri kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan tujuannya sendiri
8)        Menyadarkan peserta didik bahwa guru tidak selalu ada disisinya.
b.   Permasalahan Kemandirian Belajar
Pentingnya kemandirian bagi peserta didik dapat dilihat dari kompleksitas kehidupan yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kehidupan peserta didik. Dalam konteks proses belajar, terlihat adanya fenomena peserta didik yang kurang mandiri dalam belajar. Hal ini dapat menimbulkan gangguan mental setelah memasuki pendidikan lanjutan, kebiasaan belajar yang kurang baik (seperti tidak betah belajar lama atau belajar hanya menjelang ujian, membolos, menyontek, dan mencari bocoran soal-soal ujian).
Fenomena-fenomena di atas menuntut dunia pendidikan untuk mengembangkan kemandirian peserta didik. Sunaryo Kartadinata (Desmita, 2009: 189-190) menyebutkan bahwa gejala-gejala yang berhubungan dengan permasalahan kemandirian yaitu:
1)        Ketergantungan disiplin kontrol luar dan bukan karena niat sendiri yang ikhlas. Perilaku seperti ini akan mengarah pada perilaku tidak konsisten, yang akan menghambat pembentukan etos kerja dan etos kehidupan yang mapan sebagai salah satu cirri dari kemandirian manusia.
Contoh       : Siswa masih tergantung dengan temannya pada saat mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.
2)        Sikap tidak peduli terhadap lingkungan hidup. Manusia mandiri bukanlah manusia yang lepas dari lingkungannya, melainkan manusia yang peduli dengan lingkungannya.
Contoh       : Ketika ada siswa yang sedang mengemukakan pendapatnya, siswa yang lain mengobrol sendiri. Hal ini menandakan tidak ada rasa menghargai antara siswa yang satu dengan yang lain.
3)        Ketidakjujuran dalam berfikir dan bertindak serta kemandirian yang masih rendah.
Contoh       :    Siswa diberi kesempatan bertanya kepada guru tentang materi yang belum dipahami, namun siswa tidak memanfaatkan kesempatan bertanya tersebut. Siswa cenderung diam jika diberi kesempatan bertanya.

5 komentar:

  1. Mbak Liana, boleh minta referensi artikel di atas

    BalasHapus
  2. sumber bukunya apa ya? Tolong cantumkan daftar pustakanya. Terimakasih
    Artikel cukup membantu hanya kurang daftar pustakanya seomga bisa segera di perbaiki kembali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas masukannya.. segera saya perbaiki.

      Hapus
  3. mba apakah boleh minta referensi artikel diatas?

    BalasHapus