Fitri (2012: 21)
mengemukakan bahwa pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membentuk
kebiasaan (habit) sehingga sifat anak
akan terukir sejak dini, agar dapat mengambil keputusan dengan baik dan bijak
serta mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Aunillah (2011: 18-19)
pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter
pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu,
tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun
bangsa sehingga akan terwujud insan kamil.
Menurut Sulistyowati (2012:22) pendidikan karakter merupakan pendidikan
yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri siswa,
sehingga mereka memiliki dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
dirinya sebagai anggota masyarakat dan warga Negara yang religius, produktif
dan kreatif.
Benninga (1991: 137) Character education is a national movement
creating schools that foster ethical, responsible and caring young people by modeling and teaching good
character trhough emphasis on universal values that we all share.
Pendapat Benninga dapat diartikan sebagai pendidikan
karakter adalah gerakan nasional menciptakan sekolah yang mendorong etika,
bertanggungjawab dan merawat orang-orang muda dengan pemodelan dan mengajarkan
karakter yang baik melalui penekanan pada nilai-nilai keseluruhan.
Menurut T.Ramli (Sulistyowati, 2012:
23), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan
moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak supaya
menjadi manusia, masyarakat, dan warga negara yang baik.
Pendidikan
karakter dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut
Triyono (2012: 270) pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, yaitu
1)
Pembentukan dan pengembangan potensi
2)
Perbaikan dan penguatan
3)
Penyaring.
Menurut David & Freddy (Royzah),
pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people
understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about
the kind of character we want for our children, it is clear that we want them
to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do
what they believe to be right, even in the face of pressure from without and
temptation from whithin”.
Dapat
diartikan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru,
yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak
peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan perilaku guru, cara guru berbicara
atau menyampaikan materi.
Adisusilo
(2012: 78) menjelaskan tentang ciri pendidikan karakter, yaitu:
1)
Ketentuan interior setiap tindakan diukur berdasarkan
seperangkat nilai,
2)
Koherensi yang memberi keberanian, yang membuat
seseorang teguh pada prinsip tidak mudah terombang ambing pada situasi,
3)
Otonomi maksudnya seseorang menginternalisasikan
nilai-nilai dari luar sehingga menjadi nilai-nilai pribadi, menjadi sifat yang
melekat melalui keputusan bebas tanpa paksaan dari orang lain,
4)
Keteguhan dan kesetiaan
Dapat disimpulkan
bahwa pendidikan karakter merupakan suatu sistem yang melandasi pemikiran sikap
dan perilaku yang ditampilkan sesuai dengan akhlak. Pendidikan karakter juga
berkaitan dengan kekuatan moral yang membangun perilaku yang berkaitan dengan
hal positif, bukan hal negatif. Sehingga seorang yang memiliki karakter positif
terlihat dari adanya kesadaran untuk berbuat yang terbaik, serta mampu
bertindak sesuai potensi dan kesadaran. Hal utama yang menjadi landasan dalam
menerapkan pendidikan karakter adalah nilai moral yang dapat digali dari agama.
Sehingga upaya guru untuk menerapkan karakter harus berusaha menumbuhkan
nilai-nilai melalui spirit keteladanan yang nyata, bukan hanya pengajaran dan
wacana.
Menurut Aunillah,
ada beberapa bentuk pendidikan karakter, diantaranya adalah: jujur, disiplin,
percaya diri, peduli, mandiri, gigih, tegas, bertanggung jawab, kreatif,
bersikap kritis. Salah satu pendidikan karakter sesuai dengan kondisi peserta
didik yang masih tergantung pada guru dan teman lain dalam menyelesaikan soal
yaitu mandiri.
Desmita (2009: 185)
menyatakan bahwa kemandirian mengandung beberapa pengertian, yaitu:
1)
Suatu kondisi dimana seseorang memiliki hasrat bersaing
untuk maju demi kebaikan dirinya sendiri.
2)
Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi
masalah yang dihadapi.
3)
Memiliki kepercayaan diri dan melaksanakan
tugas-tugasnya.
4)
Bertanggungjawab atas apa yang dilakukan.
Menurut
Seifert dan Hoffnung (Desmita, 2009: 185) mendefinisikan kemandirian atau
otonomi sebagai kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan
dan tindakan sendiri secara bebas serta berusaha sendiri secara bebas serta
berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan keraguan. Sedangkan
menurut Erikson (Desmita, 2009: 185),
kemandirian adalah usaha untuk melepaskan diri dari orang tua dengan
maksud untuk menemukan dirinya melalui proses mencari ego, yaitu merupakan
perkembangan ke arah individualitas yang mantap dan berdiri sendiri.
Dapat
disimpulkan bahwa kemandirian merupakan kemampuan untuk mengatur dan
mengendalikan pikiran, perasaan, dan tindakan secara bebas serta berusaha untuk
menentukan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain untuk menyelesaikan tugas.
Dengan menyelesaikan tugas sendiri
hasilnya akan lebih memuaskan dibandingkan dengan pekerjaan yang dibantu oleh
orang lain. Peserta didik yang mempunyai kemandirian akan menjadikan proses
pembelajaran menjadi lancar sehingga
guru juga dapat menikmati mengajarnya. Peserta didik yang mandiri nantinya akan
bisa melayani kebutuhannya sendiri sekaligus bertanggungjawab terhadap dirinya
sendiri.
Adapun
pengertian kemandirian belajar seperti yang peneliti simpulkan adalah suatu
perubahan dalam tingkah laku yang merupakan hasil dari pengalamannya sendiri dalam
interaksi dengan lingkungan. Sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa kemandirian
belajar adalah sebuah kemampuan untuk mengendalikan pikiran, perasaan, dan
tindakan sendiri secara bebas serta berusaha untuk menentukan dirinya sendiri
tanpa bantuan orang lain untuk menyelesaikan tugas sebagai hasil dari
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan.
a. Bentuk-bentuk Kemandirian
Havighurst (Desmita, 2009: 186) membedakan
kemandirian atas empat bentuk, yaitu:
1)
Kemandirian emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi
sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada orang lain.
2)
Kemandirian ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi
sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain.
3)
Kemandirian intelektual, yaitu kemampuan untuk
mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
4)
Kemandirian sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan
interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung pada aksi orang lain.
Steinberg
(Desmita, 2009: 186) membedakan
karakteristik kemandirian atas tiga bentuk:
“The first emotional autonomy-that aspect of independence related to changes in
the individual’s close relationships, especially with parent. The second
behavioral autonomy-the capacity to make independent decisions and follow
through with them. The third characterization involves an aspect of
independence reffered to as value autonomy-wich is more than simply being able
to resist pressures to go along with the demands of other, it means having a
set a principles about right and wrong, about what is important and what is
not.
Dapat diartikan bahwa ketiga aspek
kemandirian, yaitu: “Pertama, kemandirian emosional menyatakan perubahan
kedekatan hubungan emosional antar individu. Kedua, kemandirian tingkah laku
untuk membuat keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukan secara
tanggungjawab. Ketiga, kemandirian nilai memaknai prinsip tentang benar dan
salah.
Menurut
Erikson (Desmita, 2009: 185) yang mengatakan bahwa ciri-ciri individu yang
memiliki kemandirian adalah:
1)
Dapat menemukan identitas atau nasib dirinya.
2)
Memiliki inisiatif dan kreatif.
3)
Membuat pertimbangan - pertimbangan sendiri dalam
bertindak.
4)
Bertanggungjawab atas tindakannya.
5)
Mampu menahan diri atau kontrol diri.
6)
Dapat mengambil keputusan sendiri.
Sedangkan
Lovinger (Desmita, 2009: 187) mengemukakan tentang tingkatan kemandirian dan
karakteristiknya, yaitu:
1)
Tingkat pertama adalah tingkat impulsif dan melindungi
diri. Ciri-cirinya:
a)
Peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat
diperoleh dari interaksinya dengan orang lain.
b)
Mengikuti aturan secara spontanistik dan hedonistik.
c)
Berpikir tidak logis dan tertegun pada cara berpikir
tertentu (stereotype).
d) Cenderung
melihat kehidupan sebagai zero-sum games.
e)
Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta
lingkungannya.
2)
Tingkat kedua adalah tingkat konformistik.
Ciri-cirinya:
a)
Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan sosial.
b)
Cenderung berpikir stereotype
dan klise.
c)
Peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal.
d) Bertindak
dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian.
e)
Menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya
instropeksi.
f)
Perbedaan kelompok didasarkan atas ciri-ciri eksternal.
g)
Takut tidak diterima kelompok.
h)
Tidak sensitif terhadap keindividualan.
i)
Merasa berdosa jika melanggar aturan.
3)
Tingkat ketiga adalah sadar diri. Ciri-cirinya:
a)
Mampu berpikir alternatif.
b)
Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi.
c)
Peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang
ada.
d)
Menekankan pada pentingnya memecahkan masalah.
e)
Memikirkan cara hidup.
f)
Penyesuaian terhadap situasi dan peraturan.
4)
Tingkat keempat adalah tingkat saksama (conscientious). Ciri-cirinya:
a)
Bertindak atas dasar nilai-nilai internal.
b)
Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku
tindakan.
c)
Mampu melihat keragaman emosi, motif dan perspektif
diri sendiri maupun orang lain.
d) Sadar
akan tanggungjawab.
e)
Mampu melakukan kritik dan penilaian diri.
f)
Peduli akan hubungan mutualistik.
g)
Memiliki tujuan jangka panjang.
h)
Cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial.
i)
Berpikir lebih kompleks dan atas dasar pola analitis.
5)
Tingkat kelima adalah tingkat individualitas.
Ciri-cirinya:
a)
Peningkatan kesadaran individualitas.
b)
Kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dan
ketergantungan.
c)
Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang
lain.
d) Mengenal
eksistensi perbedaan individual.
e)
Mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam
kehidupan.
f)
Membedakan kehidupan internal dengan kehidupan luar
dirinya.
g)
Mengenal kompleksitas diri.
h)
Peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.
6)
Tingkat keenam adalah tingkat mandiri. Ciri-cirinya:
a)
Memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan.
b)
Cenderung bersikap realistik dan objektif terhadap diri
sendiri dan orang lain.
c)
Peduli terhadap pemahaman abstrak, seperti keadaan
sosial.
d) Mampu
mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan.
e)
Toleran terhadap ambiguitas.
f)
Peduli akan pemenuhan diri (self-fulfilment).
g)
Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal.
h)
Responsif terhadap kemandirian orang lain.
i)
Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang
lain.
j)
Mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan
dan keceriaan.
Hiemstra (Nurhayati, 2011: 147)
menjelaskan karakteristik peserta didik yang mandiri, yaitu:
1)
Hubungan antara guru dengan peserta didik tetap ada,
tetapi bukan hubungan ketergantungan
2)
Mengetahui kapan harus minta tolong dan membutuhkan
bantuan,
3)
Mengetahui kepada siapa dan dari mana memperoleh
bantuan,
4)
Mengetahui kapan perlu menggunakan media belajar,
5)
Mengetahui cara menggunakan media.
Nurhayati
(2011: 148) menyatakan ada beberapa prinsip dalam kemandirian belajar, yaitu:
1)
Fokus pembelajaran berubah dari mengajar kepada
belajar,
2)
Ada usaha untuk mempengaruhi diri peserta didik,
3)
Ada dukungan dan kerjasama teman sebaya,
4)
Digunakan untuk penilaian sendiri atau teman,
5)
Menekankan penuh pada perbedaan individual.
Kemandirian
tidak hanya saat merencanakan belajar saja, melainkan yang paling utama
dituntut memiliki kemandirian dalam mengikuti proses belajar. Peserta didik
mempunyai kebebasan untuk memutuskan tujuan apa yang hendak dicapai. Dengan
kemandirian belajar, memungkinkan peserta didik dapat mentransfer pengetahuan
konseptual kepada situasi baru, menghilangkan pemisah antara pengetahuan di
sekolah dengan realitas kehidupan keseharian.
Dari
uraian tersebut, secara rinci indikator kemandirian belajar dapat dilihat dalam
tabel berikut:
Tabel 2.1
Indikator Kemandirian Materi Contoh
Perundang-undangan
No
|
Indikator
|
1.
|
Memiliki keinginan dan kesadaran
yang kuat untuk belajar
|
2.
|
Memiliki tanggungjawab dalam
setiap tindakan dan aktivitas belajar
|
3.
|
Memiliki inisiatif dan kreatif
|
4.
|
Memiliki kepercayaan diri dan disiplin
dalam melaksanakan tugas-tugas secara mandiri
|
5.
|
Mampu mengatur perasaan emosi
|
Menurut
Aunillah (2011: 72-75), langkah-langkah yang dilakukan oleh guru untuk
membentuk peserta didik agar tumbuh menjadi sosok yang berkarakter mandiri
diantaranya adalah sebagai berikut :
1)
Beri bekal keterampilan untuk mengurus diri sendiri
2)
Bentuk kegiatan-kegiatan sekolah yang merangsang sikap
mandiri
3)
Minta kepada peserta didik untuk membuat program
kegiatan positif
4)
Biarkan peserta didik mengatur waktunya sendiri
5)
Peserta didik diberi tanggungjawab
6)
Mewujudkan kondisi badan yang sehat dan kuat
7)
Beri kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan
tujuannya sendiri
8)
Menyadarkan peserta didik bahwa guru tidak selalu ada
disisinya.
b. Permasalahan Kemandirian Belajar
Pentingnya
kemandirian bagi peserta didik dapat dilihat dari kompleksitas kehidupan yang
secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kehidupan peserta didik. Dalam
konteks proses belajar, terlihat adanya fenomena peserta didik yang kurang
mandiri dalam belajar. Hal ini dapat menimbulkan gangguan mental setelah
memasuki pendidikan lanjutan, kebiasaan belajar yang kurang baik (seperti tidak
betah belajar lama atau belajar hanya menjelang ujian, membolos, menyontek, dan
mencari bocoran soal-soal ujian).
Fenomena-fenomena di atas
menuntut dunia pendidikan untuk mengembangkan kemandirian peserta didik.
Sunaryo Kartadinata (Desmita, 2009: 189-190) menyebutkan bahwa gejala-gejala
yang berhubungan dengan permasalahan kemandirian yaitu:
1)
Ketergantungan disiplin kontrol luar dan bukan karena
niat sendiri yang ikhlas. Perilaku seperti ini akan mengarah pada perilaku
tidak konsisten, yang akan menghambat pembentukan etos kerja dan etos kehidupan
yang mapan sebagai salah satu cirri dari kemandirian manusia.
Contoh : Siswa masih tergantung dengan temannya
pada saat mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.
2)
Sikap tidak peduli terhadap lingkungan hidup. Manusia
mandiri bukanlah manusia yang lepas dari lingkungannya, melainkan manusia yang
peduli dengan lingkungannya.
Contoh : Ketika ada siswa yang sedang
mengemukakan pendapatnya, siswa yang lain mengobrol sendiri. Hal ini menandakan
tidak ada rasa menghargai antara siswa yang satu dengan yang lain.
3)
Ketidakjujuran dalam berfikir dan bertindak serta
kemandirian yang masih rendah.
Contoh : Siswa
diberi kesempatan bertanya kepada guru tentang materi yang belum dipahami,
namun siswa tidak memanfaatkan kesempatan bertanya tersebut. Siswa cenderung
diam jika diberi kesempatan bertanya.
Mbak Liana, boleh minta referensi artikel di atas
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapussumber bukunya apa ya? Tolong cantumkan daftar pustakanya. Terimakasih
BalasHapusArtikel cukup membantu hanya kurang daftar pustakanya seomga bisa segera di perbaiki kembali.
Terimakasih atas masukannya.. segera saya perbaiki.
Hapusmba apakah boleh minta referensi artikel diatas?
BalasHapus