Liana Arum Purwitasari

tanpa tanda jasa
SELAMAT DATANG DI BLOG LIANA ARUM PURWITASARI

Minggu, 06 Mei 2012

Bab IV SEKOLAH, SOSIALISASI ANAK DAN KELUARGA



Bab IV
SEKOLAH, SOSIALISASI ANAK DAN
KELUARGA
A.   Sekilas tentang Sosialisasi

Telah menjadi bagian dari studi sosiologi pendidikan bahwa
sosialisasi merupakan salah satu topik kajian yang dipelajari seca-
ra serius. Mengingat arti sosialisasi itu sendiri merupakan proses
alamiah  yang  membimbing  individu  untuk  mempelajari,  mema-
hami  dan  mempraktikkan  nilai-nilai, norma-norma,  pengetahuan
serta   keterampilan   yang   dimiliki   oleh   masyarakat,   sosialisasi
memiliki   urgensi  yang  begitu  kuat   terhadap  keberlangsungan
pendidikan bagi individu sebagai anggota masyarakat.
Proses  sosialisasilah  yang  membuat  seseorang  menjadi  tahu
bagaimana   seharusnya   seseorang   bertingkah   laku   di   tengah-
tengah masyarakat dan lingkungan budayanya. Proses sosialisasi
membawa  seseorang  dari  keadaan  belum  tersosialisasi  menjadi
masyarakat   dan   beradab.   Melalui   sosialisasi,  seseorang   secara
berangsur-angsur   mengenal   persyaratan-persyaratan   dan   tun-
tutan-tuntutan hidup di lingkungan budayanya.
Oleh karena pentingnya pembahasan sosialisasi, maka secara
khusus  para  ahli  memfokuskan  perhatian  studinya  guna  meng-
ungkap  arti  sosialisasi  sesuai  dengan  titik  tolak  dan  sudut  pan-
dang yang berbeda-beda. Tokoh-tokoh seperti Kimbal Young, R.S.
Lazarus, Havigurst, Naugarten, Thomas Ford Hoult serta George
Herbert Mead seperti dirangkum   Ahmadi (1991) mengemukakan
pengertian sosialisasi mencakup :
1.    Proses  sosialisasi  adalah  proses  belajar.  Yaitu  suatu  proses
akomodasi  di  mana  individu  menahan,  mengubah  impuls-
impuls  dalam  dirinya  lalu  diikuti  oleh  upaya  pewarisan  cara
hidup atau kebudayaan masyarakatnya,
2.    Dalam  proses  sosialisasi  itu  individu  mempelajari  kebiasaan,
sikap,  ide-ide,  nilai-nilai  dan  tingkah  laku  dalam  masyarakat
di mana ia hidup, dan
3.    Semua  sikap  dan  kecakapan  yang  dipelajari  dalam  proses
sosialisasi  itu  disusun  dan  dikembangkan  secara  sistematis
dalam pribadinya.
Dengan   proses   sosialisasi   individu   berkembang   menjadi
suatu pribadi atau makhluk sosial. Pribadi atau makhluk sosial ini
merupakan  kesatuan  integral  dari  sifat-sifat  individu  yang  ber-
kembang melalui proses sosialisasi, hal mana yang mempengaruhi
hubungannya dengan orang lain dalam masyaraat.
Dalam  ilmu  sosial,    studi  tentang  sosialisasi  telah  sampai
pada penilaian beberapa ilmuwan sosial untuk mengungkap haki-
kat keberadaan manusia. Sebuah jawaban yang dilontarkan kepa-
da  mereka-mereka  yang  mempertanyakan  asal-usul  dan  seluk-
beluknya. Petanyaan tersebut telah menantang para ahli ilmu-ilmu
sosial  dan  filsafat  selama  bertahun-tahun.  Kini  terdapat  suatu
pemahaman   umum   mengenai   sifat   dari   keberadaan   manusia
meskipun   beberapa   aliran   mempunyai   cara   pendekatan   yang
berbeda-beda.   Di   antara   mereka   ini   lebih   banyak   mengupas
eksistensi  manusia dalam konteks sosial  kebudayaannya, dengan
mengemukakan tentang teori konsep diri.
Secara  objektif,  kedirian  (self)  dapat  dikatakan  sebagai  kesa-
daran terhadap diri sendiri dan bagaimana ia memandang   orang
lain.    Ahli  yang  telah    menyelidiki  kedirian  itu  di  antaranya,
Charles   Horton   Cooley,   Goerge   Herbert   Mead   dan   Sigmund
Freud,  meskipun  ketiganya  memiliki  konsep  dan  teori  yang  ber-
beda  sesuai  dengan  persepsi  ilmiah  masing-masing  namun  pada
dasarnya  ketiga  tokoh  tersebut  memiliki  letak  persamaan  teoritis
(Faisal dan Yasik, 1998),  sebagai berikut :
1.    Kedirian itu bersifat sosial,
2.    Kedirian itu membutuhkan masyarakat untuk menjelaskannya
secara sempurna, dan
3.    Kesadaran individu terhadap dirinya timbul akibat pergaulan
dengan orang lain.
Dari  penegasan  tiga  tokoh  di  atas  lebih  spesifik  Broom  dan
Selznick  dalam  Ahmadi  (1991)  memandang  tiga  cara  sosialisasi
dalam upaya membentuk suatu tingkah laku. Pertama,  dalam pro-
ses  sosialisasi  itu  seseorang  mendapatkan  bayangan  dirinya  (self
image).  Bayangan  diri  itu  timbul  setelah  ia  memperhatikan  cara
orang  lain  memandang  dan  memperlakukan  seseorang,  hal  itu
bisa timbul akibat penilaian orang lain yang terus menerus mem-
18


berikan  gambaran  bahwa  ia  tidak  dapat  dipercaya.  Sebaliknya,
suatu  bayangan  diri  yang  menguntungkan  bagi  perkembangan
seseorang, hal ini bisa timbul akibat penilaian orang lain.
Kedua,  dalam  sosialisasi  juga  membentuk  kedirian  yang  ide-
alis orang bersangkutan untuk mengetahui dengan pasti apa-apa
yang  harus  ia  lakukan  agar  dapat  memperoleh  pujian  dan  rasa
cinta dari orang lain. Bentuk kedirian yang ideal itu juga berfungsi
untuk meningkatkan ketaatan si anak kepada norma-norma sosial.
Ketiga,  pada  akhirnya  sosialisasi  juga  membentuk  kedirian
manusia itu dengan jalan membangun suatu ego. Ego secara umum
dapat dikatakan  sebagai fungsi  pengontrol  yang integratif  dalam
diri  seseorang.  Menurut  definisi  yang  populer,  ego  dapat  diper-
samakan  dengan  hati  nurani.  Bila  seseorang  menginjak  dewasa,
diharapkan ia dapat mengontrol dirinya sendiri seolah-olah orang
lain juga mengamatinya, meskipun sebenarnya mungkin tidak ada
orang lain yang memperhatikannya.
Begitulah konsepsi teoretis yang dikembangkan oleh bebera-
pa  ahli  dalam  menanggapi  masalah  hakikat  keberadaan  seorang
individu   terkait   dengan   lingkungan   sosialnya.   Secara   singkat
dapat dikatakan sosialisasi merupakan upaya belajar sosial indivi-
du  untuk  menyesuaikan  kondisi,  situasi  dan  sinergisitas  antara
kebutuhan individu dengan tuntutan eksternalnya.
Oleh sebab itu di sisi lain muncul juga suatu konsepsi teoritis
tentang sosialisasi yang dimaknai sebagai proses penyesuaian diri.
Konsep penyesuaian diri ini berasal dari biologi, dan merupakan
konsep dasar yang digunakan Teori Evolusi Darwin. Dalam biolo-
gi,  istilah  yang  digunakan  ialah  adaptasi.  Menurut  teori  tersebut
hanya   organisme   yang   berhasil   menyesuaikan   diri   terhadap
lingkungan fisiknya sajalah yang dapat tetap hidup.
Tingkah  laku  manusia  itu  diterangkan  sebagai  reaksi-reaksi
terhadap tuntutan atau tekanan dari lingkungan eksternalnya. Di
daerah yang dingin manusia harus berpakaian tebal untuk menga-
tasi  iklim.  Contoh  tersebut  menunjukkan  bahwa  tingkah  laku
manusia   itu   merupakan   penyesuaian   diri   terhadap   tuntutan-
tuntutan lingkungan fisik.
Namun   karena   manusia   hidup   dalam   masyarakat,   maka
tingkah  lakunya  bukan  sekadar  penyesuaian  diri  terhadap  tun-
tutan-tuntutan fisik lingkungan  -nya, melainkan juga merupakan
penyesuaian  diri  terhadap  tuntutan  dan  tekanan  sosial  dari  luar.
Sehingga konsep adaptasi yang berasal dari biologi itu dalam ilmu-
ilmu  sosial  (khususnya  Psikologi)  mendapat  istilah,  adjusment.
Baik adaptasi maupun adjusment kita terjemahkan dengan "proses
penyesuaian  diri  terhadap  lingkungan  fisik  maupun  lingkungan
sosial".  Proses  penyesuaian  diri  itu  merupakan  reaksi  terhadap
tuntutan-tuntutan    untuk    dirinya.    Tuntutan-tuntutan    tersebut
dapat digolongkan menjadi tuntutan internal dan eksternal.
Keseimbangan  antara pemenuhan  dorongan internal  dengan
penyesuaian terhadap tuntutan lingkungan luarnya akan mengha-
silkan  kepuasan  bagi  seorang  individu.  Adapun  kepuasan  itu
dapat  berupa  kepuasan  psikis,  efisiensi  kerja  atau  pengakuan
sosial  dari  masyarakat  atas  kerja  yang  dilakukannya,  sehingga
pada  tahap  selanjutnya  akan  mengkisahkan  wujud  keserasian
aktualisasi    kebutuhan    individu    sebagai    makhluk    individu
maupun  makhluk sosial. Namun  apabila kedua komponen terse-
but  justru  menimbulkan  benturan-benturan  maka  bisa  memicu
konflik yang menghambat upaya pemenuhan kebutuhannya.
Oleh  sebab  itu  diperlukan  proses  penyesuaian  yang  lebih
detail untuk mempertemukan kedua kutub ekstrim tersebut supa-
ya menemui keselarasan. Proses penyesuaian diri itu suatu proses
progresif yang memungkinkan individu dapat menguasai impuls-
impuls pribadinya maupun tuntutan lingkungannya. Adapun pro-
ses penyesuaian itu dilalui dengan tiga tahap, yakni :
1.    Tahap akomodasi, yakni rangkaian penyesuaian diri individu
untuk mengubah atau menahan impuls-impuls dalam dirinya.
Dalam  tahap  ini  individu  berusaha  menahan  diri  dan  mene-
rima cara hidup atau budaya masyarakatnya.
2.    Tahap asimilasi, merupakan proses perpaduan akibat interaksi
titik   ekstrim  antara   kepentingan   individu  dengan   kondisi-
kondisi  lingkungannya  sehingga  dapat  menimbulkan  hal-hal
yang benar-benar baru dari proses awal. Sebagai contoh, untuk
mengubah tanah pertanian yang tandus menjadi subur orang
menggunakan pupuk.
3.    Tahap integrasi, adalah rangkaian upaya sistemik dari seorang
individu untuk mengorganisasikan hasil-hasil integrasi mutu-
alistis   antara   kepentingan-kepentingan   tersebut   ke   dalam
suatu  konteks  kepribadian  yang  selaras  dengan  lingkungan
luarnya.
19


Penyesuaian Diri
Serasi
Tidak Serasi
Kepuasan
Konflik

-    Akomodasi
-    Asimilasi
-    Integrasi
Gambar 2
Skema Proses Penyesuaian Diri Individu dengan Lingkungan Luarnya

Sosialisasi   atau   dengan   kata   lain   disebut   sebagai   proses
belajar   sosial   merupakan   proses   yang   berlangsung   sepanjang
hidup  (lifelong  process),  bermula  sejak  lahir  hingga  mati.  Proses
sosialisasi itu terjadi dalam kelompok atau institusi sosial di dalam
masyarakat. Diantara kelompok atau institusi sosial yang berperan
penting dalam sosialisasi anak adalah keluarga, kelompok sebaya,
sekolah,  kelompok  keagamaan,  perkumpulan  pemuda,  institusi
politik dan ekonomi, dan media massa.
Sosialisasi sebagai bagian dari pendidikan berlangsung dalam
tiga komponen penting yang menjadi faktor penentu terbentuknya
kepribadian  seseorang.  Oleh  Ki  Hadjar  Dewantara  faktor-faktor
tersebut    dirangkum    dalam    satu    istilah    bernama    Tri    Pusat
Pendidikan,   yaitu   meliputi   rumah   atau   keluarga,   sekolah   atau
lembaga  pendidikan  formal,  masyarakat  atau  pendidikan  non
formal.
a.    Di  rumah  atau  di  dalam  keluarga  anak  berinteraksi  dengan
orang  tua  (atau  pengganti  orang  tua)  dan  segenap  anggota
keluarga lainnya. Ia memperoleh pendidikan informal, berupa
pembentukan pembiasaan-pembiasaan (habit formation) seeprti,
cara makan, tidur, bangun pagi, gosok gigi, mandi, cara berpa-
kaian,  tata  krama,  sopan  santun,  religi  dan  lain  sebagainya.
Pendidikan  informal  dalam keluarga akan banyak membantu
dalam   meletakkan   dasar   pembentukan   kepribadian   anak.
Misalnya   sikap   religius,   disiplin,   lembut/kasar,   rapi/rajin,
penghemat/pemboros, dan sebagainya dapat tumbuh, bersemi
dan berkembang senada dan seirama dengan kebiasaannya di
rumah.
b.    Di  sekolah  anak  berinteraksi  dengan  guru-guru  (pengajar)
beserta   bahan-bahan   pendidikan   dan   pengajaran,   teman-
teman peserta didik lainnya, serta pegawa-pegawai tata usaha.
Ia  memperoleh  pendidikan  formal  (terprogram  dan  terjabar-
kan dengan tetap) di sekolah berupa pembentukan nilai-nilai,
pengetahuan, keterampilan dan sikap terhadap bidang studi/
mata  pelajaran.  Akibat  bersosialisasi  dengan  pendidikan  for-
mal,   terbentuklah   kepribadiannya   untuk   tekun   dan   rajin
belajar  disertai  dengan  keinginan  untuk  meraih  cita-cita  aka-
demis yang setinggi-tingginya.
c.    Di   masyarakat   anak   berinteraksi   dengan   seluruh   anggota
masyarakat  yang  beraneka  ragam  (heterogen),  seperti  orang-
orang,  benda-benda,  dan  peristiwa-peristiwa.  Ia  memperoleh
pendidikan  nonformal  atau  pendidikan  luar  sekolah  berupa
berbagai pengalaman hidup. Agar masyarakat dapat melanjut-
kan eksistensinya, maka kepada generasi muda harus diterus-
kan  atau  diwariskan  nilai-nilai,  sikap,  pengetahuan,  keteram-
pilan    dan    bentuk-bentuk    pola    perilaku    lainnya.    Setiap
masyarakat  meneruskan  kebudayaannya  (beserta  perubahan-
nya)   kepada   generasi  penerusnya   melalui   pendidikan   dan
interaksi sosial. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan
sebagai sosialisasi, dan belajar adalah sosialisasi yang berkesi-
nambungan.

B.   Beberapa Pendekatan dalam Sosialisasi

Bagaimana sosialisasi itu dilaksanakan ? Dalam studi sosiolo-
gi para teoretikus mengemukakan beberapa teori sosialisasi yang
menjelaskan cara melakukan sosilasisasi, di mana cara-cara terse-
but  merupakan  proses  komunikasi  sosial  dan  komunikasi  antar-
budaya yang selama ini sekaligus menjadi medium dari interaksi
20


individu  dalam  dunia  sosialnya.   Teori   tersebut   yakni   sebagai
berikut.
1.    Teori  Sosialisasi  Pasif.  Pertama,  dari  Talcot  Parson,1959  dalam
Liliweri  (2001)  yang  mengemukakan  bahwa  proses  sosialisasi
merupakan  bagian  dari  perspektif  fungsionalisme.  Sosialisasi
seperti belajar berlangsung terus selama hidup namun proses
yang  paling  dramatis  dikaitkan  dengan  anak  didik.  Jadi,  ada
proses   yang   mengharuskan   perubahan   terhadap   struktur
kepribadian  dasar.  Di  satu  pihak,  tuntutan  anak  didik  harus
diubah  namun  di  lain  pihak  anak  didik  masih  bergantung
pada  keteraturan  dalam struktur  dan  fungsi,  misalnya fungsi
keluarga.  Kedua,  sosialisasi  dari  Kluchkon  yang  konsepnya
didasarkan pada proses mengubah orientasi anak didik. Misal-
nya  orientasi  nilai,  orientasi  terhadap  kodrat,  alam,  waktu,
modalitas. Ketiga, sosialisasi dari Mc. Clelland bahwa keingin-
an untuk mencapai prestasi pribadi, kebutuhan akan berpres-
tasi  sudah  merupakan  keinginan  setiap  manusia.  Ketiga-tiga-
nya   tetap  menekankan  pengaruh   dari   struktur  sosiokultur
dominan yang paling vital membentuk individu dalam proses
sosialisasi.  Individu  hanya  sekadar  bagian  kecil  dari  sistem
sosial  makro  yang  melingkupi  kehidupannya  hanya  bermak-
sud   memberikan   reaksi-reaksi   pasif   untuk   menyesuaikan
tuntutan-tuntutan eksternal.
2.    Teori  Sosialisasi  Aktif.  Menurut  Mead  dalam  Liliweri  (2001)
manusia  tidak  saja  merespon  nilai  baru  tetapi  menciptakan
peranannya dalam kondisi material di mana ia hidup agar bisa
sukses  merespon  hal  baru.  Kondisi  itu  hanya  bisa  dibentuk
melalui proses interaksi dengan orang lain.
3.    Teori  sosialisasi  radikal,  yang  berlangsung  dalam  masyarakat
yang   berlapis-lapis.   Konsep   ini   mengacu   pada   hegemoni
Gramsci  yang  mengemukakan  bahwa  kemampuan  kelompok
dominan  selalu  berusaha  untuk  mempertahankan  statusnya
kemudian mensosialisasikan nilainya kepada yang lain.
C.   Sekolah dan Sosialisasi
1.    Hakikat Sekolah
Sekolah memegang peranan penting dalam proses sosialisasi
anak,  walaupun  sekolah  merupakan  hanya  salah  satu  lembaga
yang bertanggung jawab atas pendidikan anak. Anak mengalami
perubahan dalam perilaku sosialnya setelah ia masuk ke sekolah.
Di rumah ia hanya bergaul dengan anggota keluarga yang terbatas
jumlahnya,  terutama  dengan  anggota  keluarga  dan  anak-anak
tetangga.  Suasana  dirumah  bercorak  informal  dan  banyak  tin-
dakan yang diizinkan menurut suasana di rumah.
Anak  itu  mengalami  suasana  yang  berbeda  di  sekolah.  Ia
bukan  lagi  anak  istimewa  yang  diberi  perhatian  khusus  oleh  ibu
guru,  melainkan  hanya  salah  seorang  di  antara  puluhan  murid
lainnya di dalam kelas.  Dengan suasana kelas demikian, anak itu
melihat dirinya sebagai salah seorang di antara anak-anak lainnya.
Jadi  di  sekolah  anak  itu  belajar  menyesuaikan  diri  dengan  ling-
kungan  sosial  yang  baru  yang  memperluas  keterampilan  sosial-
nya.  Ia  juga  berkenalan  dengan  anak  yang  berbagai  ragam  latar
belakang   dan   belajar   untuk   menjalankan   peranannya   dalam
struktur sosial yang dihadapinya di sekolah.
Dalam  perkembangan  fisik  dan  psikologis  anak,  selanjutnya
anak  memperoleh  pengalaman-pengalaman  baru  dalam  hubung-
an  sosialnya  dengan  anak-anak  lain  yang  berbeda  status  sosial,
kesukuan, agama, jenis kelamin dan kepribadiannya. Lambat laun
ia  membebaskan  diri  dari  ikatan  rumah  tangga  untuk  mencapai
kedewasaan dalam hubungan sosialnya dengan masyarakat luas.
Sebagian   besar   proses   sosialisasi   terjadi   secara   informal.
Namun   tiap-tiap  masyarakat   mengenal   institusi   sosial   khusus
tempat   berlangsungnya   proses   sosialisasi   secara   formal   yang
disebut sekolah. Dalam sejarah telah diketemukan sekolah-sekolah
di   Mesir   dan   Tiongkok   Kuno   kira-kira   2000   tahun   sebelum
Masehi.   Sekolah-sekolah   tempat   mendidik   para   pendeta   dan
ulama  hampir  terdapat  pada  semua  masyarakat.  Pada  zaman
dahulu    pendidikan    sekolah    merupakan    hak    istimewa    bagi
golongan  elite,  baik  golongan  politik,  agama,  militer  maupun
ekonomi.
Dewasa  ini  pendidikan  sekolah  menjadi  makin  penting  dan
mencakup  ruang  lingkup  yang  lebih  luas.  Masyarakat  modern
menuntut adanya pendidikan sekolah yang bersifat massal. Untuk
itu  masyarakat  modern  mencurahkan  investasinya  kepada  insti-
tusi-institusi  pendidikan.  Seperti  proses  sosialisasi  pada  umum-
nya,  pendidikan  sekolah  mempunyai  dua  aspek  penting,  yaitu
aspek  individual  dan  sosial.  Di  satu  pihak  pendidikan  sekolah
bertugas mempengaruhi dan menciptakan kondisi yang memung-
kinkan perkembangan pribadi anak secara optimal. Di pihak lain
21


pendidikan  sekolah  bertugas  mendidik  agar  anak  mengabdikan
dirinya kepada masyarakat.
Menurut   Webster,   1991   (dalam   Hasbullah,   1999)   sekolah
merupakan  tempat  atau  institusi/lembaga  yang  secara  khusus
didirikan  untuk  menyelenggarakan  proses  belajar  mengajar  atau
pendidikan.  Sebagai  institusi,  sekolah  merupakan  tempat  untuk
mengajar   murid-murid,   tempat   untuk   melatih   dan   memberi
instruksi-instruksi tentang suatu lapangan keilmuan dan keteram-
pilan tertentu kepada siswa. Tempat yang dinamakan sekolah itu
merupakan  satu  kompleks  bangunan,  laboratorium,  fasilitas fisik
yang disediakan sebagai pusat kegiatan belajar dan mengajar.
Berdasarkan  pendapat  itu  maka  sekolah  mengandung  dua
makna,   secara   fisik   sekolah   terdiri   dari   bangunan-bangunan
gedung  dan  laboratorium,  jadi  sekolah  dalam  artian  material.
Sedangkan   yang   nonfisik   terdiri   dari   sistem-sistem   hubungan
antara mereka yang ditugaskan untuk mengajar (guru, pelatih dan
lain-lain)  dengan  yang  diajar  (murid,  siswa),  jadi  sekolah  dalam
artian spiritual.
Kedua  artian  tersebut  di  atas  saling  mendukung,  misalnya
guru   tidak   bisa   mengajar,   mensosialisasikan   nilai-nilai   (artian
spritual)  dengan  sempurna  apabila  tidak  didukung  oleh  fasilitas
(artian   material)   belajar-mengajar   yang   memadai.   Baik   artian
material maupun spiritual, sekolah tetap sekolah, dia merupakan
suatu  "area"  khusus  dalam  strata  sosial  dan  budaya  masyarakat
sehingga  eksistensi  sekolah  yang  mendidik  manusia  tidak  dapat
dipisahkan  dengan  konteks  masyarakat.  Jadi  sekolah  merupakan
salah  satu  agen  sosialisasi  norma  dan  nilai,  sekolah  merupakan
tempat lembaga (institusi) pendidikan menyelenggarakan seluruh
kegiatannya baik praktis maupun substantif.
Gambar berikut ini menjelaskan kedudukan manusia sebagai
individu dalam lingkungan sosial dan budaya masyarakat.
Masyarakat

Komunitas

Organisasi

Kelompok

Keluarga
Individu
Gambar 3
Kedudukan Manusia dalam Lingkungan Sosial dan Budaya Masyarakat

Secara     sosiologis,     pendidikan     juga     mencakup     proses
sosialisasi  yang  dilembagakan  melalui  sekolah  sebagai  institusi,
karena  kita  membawa  anak-anak  dari  lingkungan  keluarga  ke
lingkungan   yang   lebih   luas.   Perbuatan   ini   sama   saja   dengan
mengalihkan  perhatian  kita  dari  pembentukan  identitas  individu
dalam  suatu  unit  keluarga  kepada  pembentukan  struktur  sosial
yang  lebih  luas  dan  pada  gilirannya  akan  saling  memberikan
pengaruh  oleh  identitas  tersebut.  Jadi,  kita  beralih  dari  suatu
orientasi    mikro    ke    makro    yang    dengan    logika    itu    maka
pendidikan  secara bersistem tetap diperlukan  untuk memanusia-
kan manusia utuh dan kaya arti.
Sebagaimana telah terungkap dalam Liliweri (2001) ada bebe-
rapa  gagasan  teoretis  yang  dapat  digunakan  untuk  menjelaskan
pentingnya   pendidikan   modern   bagi   manusia.   Pertama,   Teori
Fungsionalisme dari Collins. Teori ini berpendapat bahwa sistem
22


pendidikan   modern   berasal   dari   kebutuhan   riil   fungsional   di
lapangan.   Sebagai   contoh,   industrialisasi   telah   menyebabkan
semakin besarnya tuntutan tingkat keterampilan kerja. Akibatnya,
pendidikan   harus   diperluas   agar   anak   didik   berfungsi   sesuai
dengan  kebutuhan  untuk  mengisi  struktur  kerja.  Ahli  lain  yang
memfokuskan diri membahas peran utama sekolah dalam masya-
rakat  adalah  Talcot  Parsons  tahun  1959,  yang  tulisan-tulisannya
menganut   pendekatan   aliran   fungsionalis.   Parsons   melakukan
suatu  upaya  ilmiah  untuk  menunjukkan  fungsi  mendasar  dari
sekolah  sebagai  perantara  hubungan  lintas  lembaga  pendidikan
primer menuju orientasi pendidikan sekunder di mana anak yang
sebelumnya    mendapat    pembinaan    dan    naungan    kehidupan
keluarga  maka  di  dalam  sekolah  anak  akan  dipersiapkan  untuk
mempelajari   peran-peran   orang   dewasa   dalam   struktur   sosial
masyarakat modern. Dalam Mifflen (1986) dia melihat dua fungsi
dari peran sekolah yaitu:
a.    Mengarahkan   anak   dari   orientasi   kekhususan   ke   orientasi
yang  universal  serta  dari  orientasi  askriptif  menuju  orientasi
prestasi (meritokratis), dan
b.    Alokasi  seleksi  atau  diferensial  ke  peran-peran  dewasa  yang
mendapat kedudukan tidak sama.
Analisis  fungsionalnya  Parsons  didasarkan  pada   konsepsi
teoretisnya yang  disebut sistem  nilai  umum  dan  kebutuhan  untuk
mengalokasikan    individu    pada    peran-peran    tertentu    dalam
masyarakat. Sekolah merupakan struktur utama untuk menanam-
kan sistem nilai umum ini terutama untuk mengarahkan individu
ke berbagai peran-peran orang dewasa.
Kedua, Teori Marx . Menurut Marx bahwa sistem pendidikan
modern timbul sebagai sistem disiplin kerja bagi usaha menguat-
nya pembagian kerja antara kelas pekerja dengan kelas penguasa
kapital.   Kebutuhan   para   kapitalis   telah   mengisi   pendidikan
sehingga   tidak   memberikan   kesempatan   pada   kelas   pekerja
mengenyam    pendidikan.    Dalam    Teori    Marxis    pendidikan
merupakan  suatu  lembaga  lain  yang  berada  di  bawah  kekuatan
superstruktur kapitalis tersebut. Tujuannya adalah untuk melegi-
timasi interaksi eksploitatif kepada kaum proletar dengan menda-
sarkan pada faktor-faktor produksi yang tercermin dalam struktur
sosialnya.
Ketiga,   Teori   Inflasi   Kredensial   dari   Collins   dan   Dore.
Menurut  mereka  bahwa  pendidikan  adalah  komoditas  bernilai
tinggi   yang   dicari   oleh   individu-individu   sebagai   alat   sukses
ekonomi dan mobilitas ke atas. Sistem pendidikan menjadi suatu
fokus    untuk    mendapatkan    diploma    dan    gelar    kesarjanaan.
Terjadilah   apa   yang   disebut   dengan   Inflasi   Kredensial   (Inflasi
Ijasah),  karena  penyelenggara  pendidikan  cenderung  mengejar
jumlah  tamatan  (kuantitas)  sedangkan  prinsip  kualitas  kurang
mendapat  perhatian.  Akibatnya  terjadi  kelebihan  ijasah  sehingga
ada ijasah yang tidak dapat digunakan.
Keempat,   Teori   Pendidikan   sebagai   pembangunan   bangsa.
Asumsi  teori  ini  adalah  pendidikan  massal  modern  timbul  dan
meluas untuk dapat memberi sosialisasi intensif kepada individu-
individu  yang  menjadi  warga  negara  yang  layak  dalam  masya-
rakat modern, rasionalistis dan industri maju berteknologi tinggi.
Pendidikan  menjadi  suatu  alat  besar  yang  mengikat  individu-
individu pada tujuan sistem politik modern dalam meningkatkan
pembangunan   ekonomi   dan   modernisasi   masyarakat   secara
menyeluruh.
Beberapa konsep teoretis di atas telah memaparkan rangkaian
analisis  tentang  peran  dan  fungsi  lembaga  sekolah  dalam  kehi-
dupan masyarakat khususnya menjadi salah satu agen sosialisasi
bagi individu. Tentu saja masing-masing konsep tersebut memiliki
signifikansi  yang  berbeda-beda  terhadap  model  penerapan  dan
realitas pendidikan (sekolah) kita. Sesuai dengan konstruksi sosial
dan  kebudayaan  yang  terbentuk  maka  secara  prinsipil  model
pendidikan   kita   diarahkan   pada   tipe   birokratis   bagi   seluruh
kalangan  (education  for  all)  dengan  fokus  teori  pendidikan  untuk
membangun bangsa.
Sebagai  lembaga  pendidikan  formal,  sekolah  yang  lahir  dan
berkembang  di  dalam  masyarakat  merupakan  perangkat  yang
berkewajiban  memberikan  pelayanan  kepada  masyarakat  dalam
mendidik warga negara. Sekolah di kelola secara formal, hierarkis
dan kronologis yang berhaluan pada falsafah dan tujuan nasional
suatu bangsa.

2.    Sifat-Sifat Lembaga Pendidikan Sekolah
Sekolah   merupakan   lembaga   pendidikan   kedua   setelah
keluarga  yang  bersifat  formal  namun  tidak  kodrati.  Kendatipun
23


demikian  banyak  orang  tua  (dengan  berbagai  alasan)  menyerah-
kan tanggung jawab pendidikan anaknya kepada sekolah.
Dari  kenyataan  tersebut,  maka  menurut  Hasbullah  (1999)
sifat-sifat dari pendidikan sekolah tersebut adalah:

a.    Tumbuh Sesudah Keluarga (pendidikan kedua)
Dalam sebuah  keluarga tidak selamanya tersedia kesempatan
dan  kesanggupan  memberikan  pendidikan  kepada  anaknya,
sehingga  keluarga  menyerahkan  tanggung  jawabnya  kepada
sekolah. Di sekolah, anak-anak memperoleh kecakapan seperti
membaca,  menulis,  berhitung,  menggambar  serta  ilmu-ilmu
yang lain. Di samping itu juga diberikan pelajaran menghargai
keindahan,  membedakan  benar  dan  salah  serta  pendidikan
agama.  Materi-materi  tersebut  jelas  sangat  sulit  diselenggara-
kan di lingkungan keluarga.
b.    Lembaga Pendidikan Formal
Dinamakan    lembaga    pendidikan    formal,    karena    sekolah
mempunyai  bentuk  yang  jelas,  dalam  arti  memiliki  program
yang   telah   direncanakan   dengan   teratur   dan   ditetapkan
dengan  resmi,  misalnya  di  sekolah  ada  rencana  pengajaran,
jam pelajaran dan peraturan lain yang menggambarkan bentuk
sekolah secara keseluruhan.
c.    Lembaga Pendidikan yang Tidak Bersifat Kodrati
Lembaga  pendidikan  didirikan  atas  dasar  hubungan  darah
antara   guru  dan   murid  seperti   halnya   di   keluarga,   tetapi
berdasarkan hubungan yang bersifat formal. Murid juga secara
kodrat  harus  mengikuti  pendidikan  sekolah  tertentu,  karena
itu sekolah merupakan pendidikan yang tidak bersifat kodrati.
Dalam hal  ini  sudah  barang  tentu hubungan  antara  pendidik
dan  anak  didik  di  sekolah  tidak  seakrab  hubungan  di  dalam
kehidupan keluarga, sebab di antara guru dan murid tidak ada
ikatan  berdasarkan  hubungan  darah,  di  samping  itu  terlalu
banyak murid yang harus dihadapi oleh guru.

3.    Fungsi dan Peranan Lembaga Sekolah
Dalam   Undang-Undang   Nomor   20   Tahun   2003   tentang
Sistem  Pendidikan  Nasional,  disebutkan  bahwa  jalur  pendidikan
sekolah/formal merupakan jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang (Pasal 1 ayat 10).
Peranan sekolah sebagai lembaga yang membantu lingkung-
an keluarga, maka sekolah bertugas mendidik dan mengajar serta
memperbaiki  dan  memperhalus  tingkah  laku  anak  didik  yang
dibawa dari keluarganya. Sementara dalam perkembangan kepri-
badian  anak  didik,  peranan  sekolah  dengan  melalui  kurikulum,
antara lain yaitu,
a.    Anak  didik  belajar  bergaul  sesama  anak  didik,  antara  guru
dengan anak didik, dan antara anak didik dengan orang yang
bukan guru (karyawan).
b.    Anak didik belajar mentaati peraturan-peraturan sekolah.
c.    Mempersiapkan  anak  didik  untuk  menjadi  anggota  masya-
rakat yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
Jelasnya  bisa  dikatakan  bahwa  sebagian  besar  pembentukan
kecerdasan  (pengertian),  sikap  dan  minat  sebagai  bagian  dari
pembentukan kepribadian, dilaksanakan oleh sekolah. Kenyataan
ini   menunjukkan,   betapa   penting   dan   besar   pengaruh   dari
sekolah.
Tentang  fungsi  sekolah  itu  sendiri,  sebagaimana  yang  dipa-
parkan oleh Suwarno,1990 (dalam Hasbullah ,1999) adalah sebagai
berikut:
a.    Mengembangkan kecerdasan pikiran dan memberikan penge-
tahuan;  di  samping  bertugas  untuk  mengembangkan  pribadi
anak   didik   secara   menyeluruh,   fungsi   sekolah   yang   lebih
penting  sebenarnya  adalah  menyampaikan  pengetahuan  dan
melaksanakan  pendidikan  kecerdasan.  Fungsi  sekolah  dalam
pendidikan    intelektual    dapat    disamakan    dengan    fungsi
keluarga dalam pendidikan moral.
b.    Spesialisasi;  sebagai  konsekuensi  makin  meningkatnya  kema-
juan masyarakat ialah makin bertambahnya diferensiasi sosial
yang melaksanakan tugas tersebut. Sekolah mempunyai fungsi
sebagai   lembaga   sosial   yang   spesialisasinya   dalam   bidang
pendidikan dan pengajaran.
c.    Efisiensi;  terdapatnya  sekolah  sebagai  lembaga  sosial  yang
berspesialisasi  di  bidang  pendidikan  dan  pengajaran,  maka
pelaksanaan  pendidikan  dan  pengajaran  dalam  masyarakat
menjadi lebih efisien, sebab:
1)   Apabila tidak ada sekolah dan pekerjaan mendidik hanya
harus   dipikul   oleh   keluarga,   maka   hal   ini   tidak   akan
24


efisien,  karena  orang  tua  terlalu  sibuk  dengan  pekerjaan-
nya,  serta  banyak  orang  tua  tidak  mampu  melaksanakan
pendidikan dimaksud,
2)   Oleh karena pendidikan sekolah dilaksanakan dalam pro-
gram yang tertentu dan sistematis, dan
3)   Di   sekolah   dapat   dididik   sejumlah   besar   anak   secara
sekaligus.
d.    Sosialisasi;   sekolah   mempunyai   peranan   yang   penting   di
dalam   proses   sosialisasi,   yaitu   proses   membantu   perkem-
bangan individu menjadi makhluk sosial, makhluk yang dapat
beradaptasi dengan baik di masyarakat. Sebab bagaimanapun
pada akhirnya dia berada di masyarakat.
e.    Konservasi dan transmisi kultural;
Fungsi  lain  dari  sekolah  adalah  memelihara  warisan  budaya
yang  hidup  dalam  masyarakat  dengan  jalan  menyampaikan
warisan kebudayaan tadi (transmisi kultural) kepada generasi
muda, dalam hal ini tentunya adalah anak didik.
f.
Transisi dari rumah ke masyarakat; ketika berada di keluarga,
kehidupan  anak  serba  menggantungkan  diri  pada  orang  tua,
maka  memasuki  sekolah  di  mana  ia  mendapat  kesempatan
untuk  melatih  berdiri  sendiri  dan  tanggung  jawab  sebagai
persiapan sebelum ke masyarakat.
D.   Keluarga dan Sosialisasi
Lingkungan   keluarga   merupakan   lingkungan   pendidikan
yang  pertama,  karena  dalam  keluarga  inilah  anak  pertama-tama
mendapatkan didikan dan bimbingan. Juga dikatakan lingkungan
yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah di
dalam  keluarga, sehingga  pendidikan  yang paling  banyak  diteri-
ma oleh anak adalah dalam keluarga.
Tugas  utama  dari  keluarga  bagi  pendidikan  anak  adalah
sebagai  peletak  dasar  bagi  pendidikan  akhlak  dan  pandangan
hidup  keagamaan.  Sifat  dan  tabiat  anak  sebagian  besar  diambil
dari kedua orang tuanya dan dari anggota keluarga yang lain.
Di dalam pasal 1 UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dinya-
takan  bahwa  perkawinan  adalah  ikatan  lahir  dan  batin  antara
seorang  pria  dan  seoarang  wanita  sebagai  suami  isteri  dengan
tujuan membentuk keluarga yang bahadia dan sejahtera, berdasar-
kan Ketuhanan Yang Maha Esa. Anak yang lahir dari perkawinan
ini  adalah  anak yang sah  dan  menjadi  hak serta tanggung jawab
kedua   orang   tuanya.   Memelihara   dan   mendidiknya,   dengan
sebaik-baiknya.  Kewajiban  kedua  orang  tua  mendidik  anak  ini
terus berlanjut sampai ia dikawinkan atau dapat berdiri sendiri.
Dari  definisi  tersebut  dapat  dirumuskan  intisari  pengertian
keluarga, yaitu sebagai berikut,
1.    Keluarga  merupakan  kelompok  sosial  kecil  yang  umumnya
terdiri atas ayah, ibu, dan anak,
2.    Hubungan  sosial  di  antara  anggota keluarga  relatif  tetap  dan
didasarkan atas ikatan darah, perkawinan dan / atau adopsi,
3.    Hubungan antar anggota keluarga dijiwai oleh suasana afeksi
dan rasa tanggung jawab, dan
4.    Fungsi keluarga adalah memelihara, merawat, dan melindungi
anak    dalam    rangka    sosialisasinya    agar    mereka    mampu
mengendalikan diri dan berjiwa sosial.

Dengan demikian terlihat betapa besar tanggung jawab orang
tua terhadap anak. Bagi seorang anak, keluarga merupakan perse-
kutuan   hidup   pada   lingkungan   keluarga   tempat   di   mana   ia
menjadi  diri  pribadi  atau  diri  sendiri.  Keluarga  juga  merupakan
wadah    bagi    anak    dalam    konteks    proses    belajarnya    untuk
mengembangkan dan membentuk diri dalam fungsi sosialnya. Di
samping itu, keluarga merupakan tempat belajar bagi anak dalam
segala  sikap  untuk  berbakti  kepada  Tuhan  sebagai  perwujudan
nilai hidup yang tertinggi.
Dengan  demikian  jelaslah  bahwa  orang  yang  pertama  dan
utama   bertanggung   jawab   terhadap   kelangsungan   hidup   dan
pendidikan anak adalah orang tua.

1.    Perkembangan Fungsi dan Peranan Keluarga
Keluarga  merupakan  institusi  sosial  yang  bersifat  universal
dan   multifungsional.   Fugnsi   pengawasan,   sosial,   pendidikan,
keagamaan,  perlindungan,  dan  rekreasi  dilakukan  oleh  keluarga
terhadap anggota-anggotanya. Oleh karena proses industrialisasi,
urbanisasi   dan   sekularisasi   maka   keluarga   dalam   masyarakat
modern  kehilangan  sebagian  dari  fungsi-fungsi  tersebut  di  atas.
Meskipun   perubahan   masyarakat   telah   mendominasi,   namun
25


fungsi  utama  keluarga  tetap  melekat,  yaitu  melindungi,  memeli-
hara,    sosialisasi,    dan   memberikan    suasana   kemesraan   bagi
anggotanya.
Menurut Vembriarto (1990) ada tiga macam fungsi yang tetap
melekat sebagai cirri hakiki keluarga, yaitu sebagai berikut.

a.    Fungsi biologis
Keluarga  merupakan  tempat  lahirnya  anak-anak,  fungsi  bio-
logis  orang  tua ialah  melahirkan  anak. Fungsi  ini  merupakan
dasar kelangsungan hidup masyarakat. Namun fungsi ini juga
mengalami  perubahan,  keluarga  sekarang  cenderung  menyu-
kai jumlah anak yang sedikit. Kecenderungan ini dipengaruhi
oleh   faktor-faktor  sebagai   berikut,   :   (1)   perubahan   tempat
tinggal keluarga dari desa ke kota, (2) makin sulitnya fasilitas
perumahan, (3) banyaknya anak dipandang sebagai hambatan
untuk  mencapai  sukses  material  keluarga,  (4)  banyak  anak
dipandang   sebagai   penghambat   tercapai   kemesraan   dalam
keluarga, (5) meningkatnya taraf pendidikan wanita berakibat
berkurangnya  kesuburan  kandungan,  (6)  menipisnya  penga-
ruh  ajaran  agama  yang  menekankan  agar  keluarga  mempu-
nyai  banyak anak, (7)  makin  banyaknya ibu-ibu yang bekerja
di  luar  rumah,  dan  (8)  makin  meluasnya  pengetahuan  dan
penggunaan alat-alat kontrasepsi.

b.    Fungsi afeksi
Dalam  keluarga  terjadi  hubungan  sosial  yang  penuh  dengan
afeksi-afeksi kemesraan. Hubungan afektif ini tumbuh sebagai
akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan.
Dari   hubungan   cinta   kasih   ini   lahirlah   hubungan   per-
saudaraan,  persahabatan,  kebiasaan,  identifikasi,  persamaan
pendangan  mengenai  nilai-nilai.  Dasar  cinta  kasih  dan  hu-
bungan  afektif  ini  merupakan  faktor  penting  bagi  perkem-
bangan  pribadi  anak.  Dalam  masyarakat  yang  makin  imper-
sonal,  sekuler  dan  asing,  pribadi  sangat  membutuhkan  hu-
bungan   afeksi   yang   secara   khusus   hanya   terdapat   dalam
kehidupan keluarga.

c.    Fungsi sosialisasi
Fungsi   sosialisasi   ini   menunjuk   peranan   keluarga   dalam
membentuk  kepribadian  anak.  Melalui  interaksi  sosial  dalam
keluarga  itu  anak  mempelajari  pola-pola  tingkah  laku,  sikap,
keyakinan,  cita-cita  dan  nilai-nilai  dalam  masyarakat  dalam
proses perkembangan pribadinya.

Apabila   kita   perhatikan   kecenderungan   yang   membawa
proses  perkembangan  zaman  dari  waktu  ke  waktu  maka  perlu
ada  adaptasi  lembaga-lembaga  kehidupan  (termasuk  keluarga)
agar tetap mampu mempertahankan peranan dan fungsi, khusus-
nya di zaman yang kian modern, sekularistis dan materialistis ini.
Perubahan  sosial  yang  datang  bertubi-tubi  rupanya  telah  mem-
bawa   pengaruh   perubahan   orientasi   kehidupan   keluarga   dari
keluarga  tradisional  mengarah  pada  keluarga  modern.  Keluarga
tradisional pada umumnya masih merupakan kesatuan produksi,
sedangkan    keluarga    modern    cenderung    berorientasi    pada
kesatuan konsumsi.
Proses  perubahan  ekonomi  pada  masyarakat  industri  telah
mengubah  sifat  keluarga,  dari  institusi  pedesaan  yang  agraris
menuju   ke   institusi   perkotaan   yang   bernuansa   industrialis.
Dengan demikian peranan anggota-anggota keluarga juga menga-
lami   perubahan.   Fungsi   produksi   hilang,   keluarga   menjadi
kesatuan konsumsi semata-mata. Keluarga di kota tidak lagi mela-
kukan fungsi produksi langsung.
Anggota-anggota  keluarga  bekerja  di  luar  untuk  mendapat-
kan upah atau gaji, sebagai sarana untuk mencukupi kebutuhan-
kebutuhan  hidupnya  (makanan,  pakaian,  dan  lain-lain).  Perge-
seran  fungsi  produksi  keluarga  itu  tampak  pada  tumbuh  kem-
bangnya  industri  pakaian  jadi,  alat-alat  rumah  tangga,  makanan,
toko makanan, restoran, supermarket, dan sebagainya.
Oleh  karena  itu  di  sini  juga  akan  dipaparkan  fungsi-fungsi
keluarga  yang  mengalami  pergeseran  sebagai  akibat  pengaruh
dari  gencarnya  perubahan  sosial  yang  melingkupi  aktivitas-akti-
vitasnya.   Fungsi-fungsi   sosial   yang   mengalami   perubahan   itu
antara lain yaitu,

a.    Fungsi pendidikan
Dahulu   keluarga   merupakan   satu-satunya   institusi   pendi-
dikan.   Fungsi   pendidikan   keluarga   ini   telah   mengalami
banyak perubahan. Secara informal fungsi pendidikan keluar-
ga  masih  tetap  penting,  namun  secara  formal  fungsi  pendi-
dikan itu telah diambil alih oleh sekolah. Proses pendidikan di
26


sekolah menjadi makin lama dan pengaruhnya menjadi makin
penting.  Apabila  dulu  fungsi  sekolah  terbatas  pada  pendi-
dikan   intelek,   maka   kecenderungan   sekarang   pendidikan
sekolah diarahkan kepada anak sebagai seorang pribadi. Guru
dengan  bantuan  konselor,  psikolog  sekolah,  psikolog  klinis,
dan pekerja sosial bersama-sama membantu anak agar mereka
berhasil menyesuaikan diri dalam masyarakat.

b.    Fungsi rekreasi
Dulu   keluarga   merupakan   medan   rekreasi   bagi   anggota-
anggotanya.  Sekarang  pusat-pusat  rekreasi  di  luar  keluarga,
seperti  gedung bioskop, panggung sirkus, lapangan olah raga,
kebun binatang, taman-taman, nightclub, komunitas pengguna
jasa  internet  dan  lain  sebagainya  dipandang  lebih  menarik.
Demikian   pula   rekreasi   dalam   kelompok   sebaya   menjadi
makin penting bagi anak-anak. Perubahan tersebut menimbul-
kan dua macam akibat, yaitu jenis-jenis rekreasi yang dialami
oleh  anggota-angota  keluarga  menjadi  lebih  bervariasi,  dan
anggota-anggota keluarga lebih cenderung mencari hiburan di
luar keluarga.

c.    Fungsi keagamaan
Dulu  keluarga  merupakan  pusat  pendidikan  upacara  ritual
dan ibadah agama bagi para anggotanya di samping peranan
yang dilakukan oleh institusi agama. Proses sekularisasi dalam
masyarakat dan merosotnya pengaruh institusi agama menim-
bulkan kemunduran fungsi keagamaan keluarga.

d.    Fungsi perlindungan
Dahulu  keluarga  berfungsi  memberikan  perlindungan,  baik
fisik   maupun   sosial,   kepada   para   anggotanya.   Sekarang
banyak  fungsi  perlindungan  dan  perawatan  ini  telah  diambil
alih  oleh  badan-badan  sosial,  seperti  tempat  perawatan  bagi
anak-anak  cacat  tubuh  dan  mental,  anak  yatim  piatu,  anak-
anak nakal, orang-orang lanjut usia, perusahaan asuransi dan
sebagainya.

2.    Keluarga sebagai Kelompok Primer
Proses  perubahan  masyarakat  dari  masarakat  agraris  yang
masih  tradisional  ke  arah  masyarakat  industri  yang  bernuansa
modern   telah   mempengaruhi   perubahan   organisasi   keluarga,
yaitu   dari   extended   family   cenderung   berubah   ke   arah   nuclear
family.  Industrialisasi  merupakan  sebab  utama  perubahan  dari
bentuk lama extended family itu kepada bentuk baru nuclear family.
Ada  tiga  alasan  yang  menyebabkan  perubahan  tersebut,  yaitu
sebagai berikut.
a.    Industrialisasi   menyebabkan   nuclear   family   menjadi   lebih
bersifat dinamis, mudah berpindah dari satu tempat ke tempat
yang  lain.  Keluarga  tidak  lagi  terikat  oleh  sebidang  tanah
untuk penghidupannya, melainkan mereka akan berpindah ke
tempat  di  mana  ada  pekerjaan.  Mobilitas  keluarga  ini  akan
melemahkan ikatan kekerabatan dalam extended family,
b.    Industrialisasi dapat mempercepat emansipasi wanita, karena
memungkinkan wanita untuk mendapatkan pekerjaan di luar
rumah tangga. Emansipasi ini menyebabkan lemahnya fungsi-
fungsi  extended  family  di  satu  sisi,  dan  memperkuat  fungsi
nuclear family di sisi lain, dan
c.    Industrialisasi  telah  menimbulkan  corak  kehidupan  ekonomi
baru  dalam  masyarakat.  Dalam  masyarakat  agraris,  semua
anggota  keluarga  baik  itu  anak-anak,  wanita,  para  orang  tua
dapat  turut  serta  dalam  proses  produksi  pertanian.  Extended
family  memberikan  keuntungan  ekonomi.  Dalam  masyarkat
industri, anak-anak, orang tua, orang cacat, tidak dapat turut
serta dalam proses produksi di pabrik. Mereka justru menjadi
beban keluarga.

Nuclear   family   merupakan   kelompok   primer.   Kelompok
primer  ialah  kelompok  kecil  yang  ciri-cirinya  antara  lain  adalah
hubungan antaranggotanya intim, kooperatif, dan biasanya face to
face,  masing-masing  anggota  memperlakukan  anggota  yang  lain
sebagai tujuan bukannya sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Keluarga merupakan suatu sistem jaringan interaksi pribadi.
Keluarga   berperan   menciptakan   persahabatan,   kecintaan,   rasa
aman,  hubungan  antarpribadi  yang  bersifat  kontinu;  semua  itu
merupakan dasar-dasar bagi perkembangan kepribadian anak.
Sebagai kelompok primer, keluarga berpengaruh besar terha-
dap anggota-anggotanya, karena,
a.    Keluarga memberikan kesempatan yang unik kepada anggota-
nya  untuk  menyadari  dan  memperkuat  nilai  kepribadiannya.
27


Dalam  keluarga  individu  memperoleh  kebebasan  yang  luas
untuk  menampakkan  kepribadiannya. Kesempatan  ini  sangat
penting  bagi  sosialisasi  anak  karena  dengan  cara  demikian
individu membangun harga dirinya.
b.    Keluarga mengatur dan menjadi perantara hubungan anggota-
anggotanya   dengan   dunia   luar.   Dalam   hubungan   tersebut
dapat dibedakan menjadi dua macam corak keluarga, yaitu,
1)   Keluarga terbuka, yaitu keluarga yang mendorong anggo-
ta-anggotanya   untuk   bergaul   dengan   masyarakat   luas.
Anak  bebas  bergaul  dengan  teman-temannya.  Ayah  dan
ibu  mempunyai  banyak  kenalan.  Keluarga  terbuka  bagi
tamu.  Anggota  keluarga  mempunyai  perhatian  terhadap
masalah-masalah  kemasyarakatan.  Keluarga  yang  bersifat
terbuka  lebih  sedikit  mengalami  ketegangan-ketegangan
daripada keluarga yang bersifat tertutup, sebab pergaulan
dengan  dunia luar  itu  dapat  menghilangkan  atau  mengu-
rangi beban-beban emosional.
2)   Keluarga tertutup, yaitu keluarga yang menutup diri terha-
dap hubungan dengan dunia luar. Keluarga yang tertutup
menghadapi   orang   luar   dengan   kecurigaan.   Hubungan
sosial  yang  intim,  kecintaan,  afeksi,  terbatas  dalam  ling-
kungan  keluarga  sendiri.  Karena  tekanan-tekanan  batin
tidak   dapat   disalurkan   keluar   dalam   hubungan   sosial
dengan  dunia  luar,  maka  kemarahan,  kekecewaan  ditum-
pahkan   kepada   keluarga   sendiri.   Akan   tetapi   keluarga
yang tertutup lebih intim.

3.    Sosialisasi dalam Keluarga
Dari  pembahasan  di  atas  dapat  diketahui,  bahwa  keluarga
merupakan  institusi  yang  paling  penting  pengaruhnya  terhadap
proses sosialisasi  individu atau seseorang.
Kondisi-kondisi   yang   menyebabkan   pentingnya   peranan
keluarga dalam proses sosialisasi anak, ialah:
a.    Keluarga  merupakan  kelompok  kecil  yang  anggota-anggota-
nya berinteraksi face to face secara tetap. Dalam kelompok yang
demikian  perkembangan  anak  dapat  diikuti  dengan  seksama
oleh   orang   tuanya   dan   penyesuaian   secara   pribadi   dalam
hubungan sosial lebih mudah terjadi.
b.    Orang  tua  mempunyai  motivasi  yang  kuat  untuk  mendidik
anak  karena  merupakan  buah  cinta  kasih  hubungan  suami
isteri.  Anak  merupakan  perluasan  biologis  dan  sosial  orang
tuanya.  Motivasi  kuat  ini  melahirkan  hubungan  emosional
antara orang tua dengan anak. Penelitian-penelitian membuk-
tikan  bahwa  hubungan  emosional  lebih  berarti  dan  efektif
daripada hubungan intelektual dalam proses sosialisasi.
c.    Oleh  karena  hubungan  sosial  di  dalam  keluarga  itu  bersifat
relatif   tetap,   maka   orang   tua   memainkan   peranan   sangat
penting terhadap proses sosialisasi anak.
Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama yang memberi-
kan pendidikan kepada individu secara lahir maupun batin untuk
tumbuh  dan  berkembang  hingga  sang  anak  menginjak  dewasa.
Dalam hal ini beberapa aspek tujuan sosialisasi yang dilaksanakan
oleh   keluarga   untuk   masyarakat   modern   seperti   mengajarkan
bermacam-macam  keterampilan,  telah  diambil  alih  oleh  lembaga
sekolah atau institusi sosial yang lain.
Tujuan Sosialisasi dalam Keluarga
Secara  mendasar  terdapat  tiga  tujuan  sosialisasi  di  dalam
keluarga, yakni sebagai berikut.

a.    Penguasaan diri
Masyarakat  menuntut  penguasaan  diri  pada  anggota-anggo-
tanya. Proses mengajar anak untuk menguasai diri ini dimulai
pada waktu orang tua melatih anak untuk memelihara keber-
sihan  dirinya.  Ini  merupakan  tuntutan  sosial  pertama  yang
dialami  oleh  anak  untuk  latihan  penguasaan  diri.  Tuntutan
penguasaan   diri   ini   berkembang,   dari   yang   bersifat   fisik
kepada penguasaan diri secara emosional. Anak harus belajar
menahan  kemarahannya  terhadap  orang  tua  atau  saudara-
saudaranya.    Tuntutan    sosial    yang    menuntut    agar    anak
menguasai diri merupakan pelajaran yang berat bagi anak.

b.    Nilai-nilai
Bersama-sama   dengan   proses   berlatih   penguasaan   diri   ini
kepada anak diajarkan nilai-nilai. Penelitian-penelitian menun-
jukkan bahwa nilai-nilai dasar dalam diri seseorang terbentuk
pada usia enam tahun. Di dalam perkembangan usia tersebut
keluarga  memegang  peranan  terpenting  dalam  menanamkan
28


nilai-nilai.  Sebagai  contoh  melatih  anak  menguasai  diri  agar
permainannya  dapat  dpinjamkan  kepada  temannya,  maka  di
situ  dapat  muncul  suatu  makna  tentang  arti  dari  kerja  sama.
Mengajarkan  anak  menguasai  diri  agar  tidak  bermain-main
dahulu sebelum menyelesaikan pekerjaan rumahnya, maka di
situ mengandung ajaran tentang nilai sukses dalam pekerjaan.

c.    Peran-peran sosial
Mempelajari  peran-peran  sosial  ini  terjadi  melalui  interaksi
sosial  dalam  keluarga.  Setelah  dalam  diri  anak  berkembang
kesadaran   diri   sendiri   yang   membedakan   dirinya   dengan
orang   lain,   dia   mulai   mempelajari   peranan-peranan   sosial
yang  sesuai  dengan  gambaran  tentang  dirinya.  Dia  mempe-
lajari peranannya sebagai anak, sebagai saudara (kakak/adik),
sebagai laki-laki/perempuan, dan sebagainya. Proses mempe-
lajari    peran-peran    sosial    ini    kemudian    dilanjutkan    di
lingkungan kelompok sebaya, sekolah, perkumpulan-perkum-
pulan dan lain sebagainya.

Ciri yang Melekat pada Keluarga
Keluarga  merupakan  lingkup  kehidupan  yang  paling berpe-
ngaruh   terhadap   perjalanan   seorang   individu,   maka   peran
keluarga dalam hubungan  sosialisasi  anak juga dipengaruhi  oleh
ciri yang melekat di dalam keluarga tersebut. Anak yang tumbuh
kembang    menjadi    seorang    pribadi    yang    utuh    merupakan
cerminan  dari  hubungan  antara  kedua  aspek  tersebut.  Ciri  yang
melekat   pada   keluarga   itu   dapat   di   bagi   menjadi   dua   yakni
sebagai berikut.

a.    Aspek Internal (Corak Hubungan antara Orang Tua dan Anak)
Para ahli sepakat bahwa cara meresepnya nilai-nilai sosial ke
dalam  diri  individu  dalam  awal  perkembangan  kepribadiannya
diperoleh    melalui    hubungan-hubungannya    dengan    manusia-
manusia   dewasa,   khususnya   orang   tua.   Nilai-nilai   dan   pola
tingkah  laku  diinternalisasikan  ke  dalam  diri  anak  hanya  bisa
tercakup   dalam   konteks   hubungan   yang   intensif,   melibatkan
partisipasi lahir maupun batin, face to face dan kontinu. Dalam hal
ini  tentunya  corak  hubungan  yang  mampu  memproduk  pribadi
seorang individu satu-satunya diperankan oleh lembaga keluarga.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fels Research Institute,
pola  hubungan  orang  tua-anak  dapat  dibedakan  menjadi  tiga
yaitu,
1)   Pola    menerima-menolak,    pola    ini    didasarkan    atas    taraf
kemesraan orang tua terhadap anak,
2)   Pola  memiliki-melepaskan,  pola  ini  didasarkan  atas  seberapa
besar  sikap  protektif  orang  tua  terhadap  anak.  Pola  ini  ber-
gerak  dari  sikap  orang  tua  yang  overprotektif  dan  memiliki
anak sampai kepada sikap mengabaikan anak sama sekali, dan
3)   Pola  demokrasi-otokrasi,  pola  ini  didasarkan  atas  taraf  parti-
sipasi   anak   dalam   menentukan   kegiatan-kegiatan   dalam
keluarga.  Pola  otokrasi  berarti  orang  tua  bertindak  sebagai
diktator  terhadap  anak,  sedangkan  pola  demokrasi,  sampai
batas-batas  tertentu  dapat  melibatkan  partisipasi  anak  untuk
menentukan keputusan-keputusan keluarga.
Anak   yang   dibesarkan   dalam   keluarga   yang   bersuasana
demokratis,  memiliki  karakter  perkembangan  yang  luwes  dan
dapat menerima kekuasaan secara rasional. Sebaliknya anak yang
dibesarkan   dalam   suasana   keluarga   otoriter,   memandang   ke-
kuasaan  sebagai  sesuatu  yang  harus  ditakuti  dan  bersifat  sakral.
Tentu   saja   akibat   pola-pola   hubungan   antaranggota   keluarga
tersebut dapat membentuk suatu wujud kepribadian-kepribadian
tertentu  kepada  sang  anak.  Dalam  pola  otoriter  misalnya,  anak
akan  berkembang  menjadi  individu  yang  penakut  atau  tunduk
kepada   peraturan   secara   membabi   buta,   bahkan   jika   hal   itu
mengisahkan   suatu   tragedi   maka   sang   anak   akan   menjadi
manusia patologis yang selalu menentang kekuasaan.

b.    Aspek Sosial
Aspek   ini   menyangkut   status   sosial   yang   dimiliki   oleh
keluarga tersebut di dalam struktur dan status kehidupan masya-
rakatnya. Secara internal  hubungan  orang tua yang menyandang
status    pekerjaan    dan    kedudukan    sosial    tertentu    di    dalam
masyarakatnya  dapat  juga  mempengaruhi  karakter  kepribadian
dalam  mendidik  anak.  Menurut  penelitian  yang  dilakukan  oleh
Universitas Chicago sekitar tahun 1940-an menyimpulkan bahwa
keluarga  kelas  sosial  menengah  kurang  menerapkan  hukuman
badan,  lebih  mendorong  tercapainya  prestasi,  dan  memberikan
tanggung jawab secara leluasa dan bebas kepada sang anak.
29


Latar  belakang  perilaku dan  pola-pola  tindakan  yang  diterapkan
oleh  orang  tua  dalam  menerapkan  metode  interaksi  pendidikan
terhadap sang anak ternyata juga merupakan hasil pengaruh dari
kelas sosial yang dimiliki oleh keluarga. Salah satu alasan penting
yang menimbulkan perbedaan itu adalah alasan ekonomi.
1)   Keluarga kelas sosial bawah umumnya memiliki banyak anak,
penghasilan  kecil,  hidup  di  dalam  rumah  yang  penuh  sesak.
Dalam  kondisi  demikian  anak  dituntut  untuk  patuh,  tidak
boleh    ribut,    tidak    boleh    terlalu    berinisiatif    agar    tidak
menimbulkan    banyak    resiko    bagi    keluarga.    Sebaliknya
keluarga   kecil,   keadaan   ekonominya   lebih   baik;   keluarga
demikian  memberi  kesempatan  kepada  anak  untuk  memiliki
inisiatif, apresiasi dan kreativitas yang cukup tinggi.
2)   Orang  tua  dari  kelas  bawah  memiliki  kedudukan  pekerjaan
yang rendah. Sebagai bawahan mereka terbiasa bersikap patuh
dan   tunduk   pada   atasannya.   Sikap  ini   secara   tidak   sadar
terpancar dalam proses mendidik anak-anaknya di rumah.

E.   Hubungan Timbal Balik Sekolah - Keluarga Bagi Individu
1.    Pergaulan dalam Keluarga
Pada  umumnya,  keluarga  terdiri  dari  ayah,  ibu dan  anak  di
mana  masing-masing  anggota  keluarga  tersebut  saling  mempe-
ngaruhi, saling membutuhkan, semua mengembangkan hubungan
intensif   antaranggota   keluarga.   Anak   membutuhkan   pakaian,
makanan  dan  bimbingan  dari  orang  tua  dan  orang  tua  mem-
butuhkan  rasa  kebahagiaan  dengan  kelahiran  anak.  Ketika  anak
tumbuh  dewasa  maka  dibutuhkan  tenaga  dan  pikirannya  untuk
membantu  orang  tua,  lebih-lebih  bila  orang  tua
berdaya karena usia yang sudah lanjut.
makin  tidak
Orang  tua  mempunyai  peranan  pertama  dan  utama  bagi
anak-anaknya  selama  anak  belum  dewasa  dan  mampu  berdiri
sendiri.  Untuk  membawa  anak  kepada  kedewasaan,  maka  orang
tua  harus  memberi  teladan  yang  baik  karena  anak  suka  mengi-
mitasi kepada orang yang lebih tua atau orang tuanya.
Dengan  lingkungan  pergaulan  antara  orang  tua  terhadap
anak  dan  anak  itu  sendiri  dengan  anggota  keluarga  yang  lain
maka sang anak telah dihadapkan pada suatu kehidupan interak-
tif   yang   telah   membekalinya   kemampuan-kemampuan   dasar
untuk bertahan hidup baik dari segi fisik maupun nonfisiknya.
2.    Pergaulan Di Dalam Sekolah
Sekolah   sebagai   lembaga   pendidikan   formal,   terdiri   dari
pendidik  dan  anak  didik.  Antara  mereka  telah  terjadi  hubungan
yang   berlapis-lapis,   baik   antara   murid   dengan   guru,   murid
dengan sesama murid serta murid dengan warga sekolah lainnya.
Guru-guru   sebagai   pendidik,   dengan   wibawanya   dalam
pergaulan  membawa  murid  sebagai  anak  didik  ke  arah  kede-
wasaan.   Memanfaatkan pergaulan sehari-hari dalam pendidikan
adalah  cara  yang  paling  baik  dan  efektif  dalam  pembentukan
pribadi dan dengan cara ini pula maka hilanglah jurang pemisah
antara guru dan anak didik.
Hubungan  murid  dengan  murid  juga  menunjukkan  suasana
yang   edukatif.   Sesama   murid   saling   berkawan,   berolahraga
bersama    dengan    ketentuan-ketentuan    yang    berlaku,    saling
mengajak  dan  diajak,  saling  bercerita,  saling  mendisiplinkan  diri
agar tidak menyinggung perasaan teman sepergaulannya.
Dalam   lingkungan   sekolah   seorang   individu   dihadapkan
pula  pada  pola  orientasi  kehidupan  yang  lebih  luas.  Di  mana
perangkat-perangkat  aktivitas  tersebut  tidak  dia  temui  di  dalam
keluarga.    Secara    prinsipiil    melihat    sekolah    sebagai    ruang
terorganisasi yang di dalamnya terdapat peran-peran yang cukup
kompleks  maka  seluruh  siswa  telah  balajar  mengenal  orientasi
kehidupan  menuju  pembelajaran  dan  persiapan  untuk  menyan-
dang status orang-orang dewasa.
Sekolah   merupakan   miniatur   masyarakat   yang   memiliki
peran-peran    yang    cukup    rumit    dan    menerapkan    pola-pola
peraturan  yang  lebih  ketat.  Tempat  di  mana  proses  pengajaran
keterampilan  dan  macam-macam  standar  pengetahuan  akan  di-
serap  dan  dipahami  oleh  siswa  untuk  memainkan  peran  kehi-
dupannya pada jenjang kedewasaannya.

3. Pengaruh Keluarga-Sekolah Terhadap Individu
Proses  sosialisasi  individu  mengidentifikasi  dirinya  sesuai
dengan perkembangan fisik dan emosinya untuk diarahkan pada
hubungan  keselarasan  dengan  lingkungan  eksternalnya.  Pende-
katan-pendekatan yang dikembangkan oleh ahli-ahli ilmu sosial di
atas  sudah  cukup  menjelaskan  bahwa  hasil  terbentuknya  kepri-
badian merupakan hasil perwujudan dari dunia luar.
30


Seiring   dengan   perkembangan   fisik   biologisnya   individu
mendapat perlakuan yang sangat intensif untuk mengembangkan
fungsi-fungsi   fisik   serta   kemampuan-kemampuan   mental   etis
yang paling mendasar dari keluarga. Melalui segala aktivitas yang
tercakup  dalam  lingkungan  keluarga  selain  individu  menyesuai-
kan  perkembangan  fisik sesuai  dengan  perjalanan  usianya, maka
tiap  fase-fase  usia  yang  dilalui  individu  telah  mendapat  bekal-
bekal mendasar untuk mengembangkannya setelah ia benar-benar
merasa memiliki kepribadian secara dewasa.
Selain dari keluarga, dalam perkembangan umur dan mental-
nya  individu  mendapat  pengaruh  dari  sekolah  dan  dari  masya-
rakat.  Wujud  dari  pengaruh  timbal  balik   antara  sekolah  dengan
keluarga   dalam   suatu   masyarakat   terhadap   individu   dapat
digambarkan dalam ilustrasi berikut.
Masyarakat
Sekolah
Keluarga

3
2
1
I N D I V I D U
Dalam perkembangan yang lebih lanjut ketika sang individu
sudah cukup memiliki kemampuan untuk melangsungkan aktivi-
tas-aktivitas  mendasar  sebagai  manusia.  Ia  lalu  memasuki  suatu
wilayah  kehidupan  luar  dari  keluarganya.  Lingkungan  itu  tidak
lain adalah sekolah. Di dalam sekolah perkembangan kemampuan
tidak  terbatas  pada akomodasi  kemampuan-kemampuan  menda-
sar   semata.   Namun   di   situ   juga   telah   terbina   suatu   ruang
sosialisasi  yang  lebih  luas  dengan  memiliki  perangkat-perangkat
yang cukup lengkap. Peraturan, keterampilan, ilmu pengetahuan,
kebudayaan  masyarakat,  seni  dan  estetika,  penempaan  spiritual,
serta wadah kreasi-kreasi yang lebih komplek adalah aspek-aspek
khusus  yang  dimiliki  oleh  sekolah  dalam  menjalankan  proses
sosialisasi kepada individu.
Kedua   lembaga   sosial   tersebut   selalu   beriringan   mengisi
setiap  waktu  kehidupan  individu  dalam  aktivitas  kesehariannya
dengan  spesifikasi  yang  berbeda-beda.  Keluarga  bertugas  menja-
lankan   sosialisasi   nilai-nilai   dasar   kemanusiaan   dalam   pola
hubungan   yang   afektif.   Sementara   sekolah   lebih   menekankan
pada  proses  pembelajaran,  pengajaran  serta  penempaan  kepada
individu  yang  berisi  tentang  ilmu  pengetahuan,  keterampilan,
serta  penguasaan-penguasaan  peran-peran  sosial  yang  lebih  luas
di  luar  keluarga.  Kedua  peran  pembentukan  tersebut  lalu  mem-
bentuk  peran  individu  dalam  masyarakat  tempat  atau  wilayah
dimana  individu  itu  berada,  baik  dalam  skala  mikro  maupun
makro.
Keterangan:
1.
2.
3.
Anak sebagai individu
Anak sebagai murid sekolah
Anak sebagai anggota keluarga

Gambar 4
Skema Hubungan Sekolah-Keluarga dalam Sosialisasi Individu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar