|
Bab IV
SEKOLAH, SOSIALISASI ANAK DAN
KELUARGA
|
A. Sekilas tentang Sosialisasi
Telah menjadi bagian dari studi sosiologi pendidikan
bahwa
sosialisasi merupakan salah satu topik kajian yang
dipelajari seca-
ra serius. Mengingat arti sosialisasi itu sendiri
merupakan proses
alamiah
yang membimbing individu
untuk mempelajari, mema-
hami dan mempraktikkan nilai-nilai, norma-norma, pengetahuan
serta
keterampilan yang dimiliki
oleh masyarakat, sosialisasi
memiliki
urgensi yang begitu
kuat terhadap keberlangsungan
pendidikan bagi individu sebagai anggota masyarakat.
Proses
sosialisasilah yang membuat
seseorang menjadi tahu
bagaimana
seharusnya seseorang bertingkah laku
di tengah-
tengah masyarakat dan lingkungan budayanya. Proses
sosialisasi
membawa
seseorang dari keadaan
belum tersosialisasi menjadi
masyarakat
dan beradab. Melalui
sosialisasi, seseorang secara
berangsur-angsur
mengenal
persyaratan-persyaratan
dan tun-
tutan-tuntutan hidup di lingkungan budayanya.
Oleh karena pentingnya pembahasan sosialisasi, maka
secara
khusus
para ahli memfokuskan
perhatian studinya guna
meng-
ungkap
arti sosialisasi sesuai
dengan titik tolak
dan sudut pan-
dang yang berbeda-beda. Tokoh-tokoh seperti Kimbal
Young, R.S.
Lazarus, Havigurst, Naugarten, Thomas Ford Hoult
serta George
Herbert Mead seperti dirangkum Ahmadi (1991) mengemukakan
pengertian sosialisasi mencakup :
1.
Proses sosialisasi adalah
proses belajar. Yaitu
suatu proses
akomodasi
di mana individu
menahan, mengubah impuls-
impuls
dalam dirinya lalu
diikuti oleh upaya
pewarisan cara
hidup atau kebudayaan masyarakatnya,
2.
Dalam proses sosialisasi
itu individu mempelajari
kebiasaan,
sikap,
ide-ide, nilai-nilai dan
tingkah laku dalam
masyarakat
di mana ia hidup, dan
|
3.
Semua sikap dan
kecakapan yang dipelajari
dalam proses
sosialisasi
itu disusun dan
dikembangkan secara sistematis
dalam pribadinya.
Dengan
proses sosialisasi individu
berkembang menjadi
suatu pribadi atau makhluk sosial. Pribadi atau
makhluk sosial ini
merupakan
kesatuan integral dari
sifat-sifat individu yang
ber-
kembang melalui proses sosialisasi, hal mana yang
mempengaruhi
hubungannya dengan orang lain dalam masyaraat.
Dalam
ilmu sosial, studi
tentang sosialisasi telah
sampai
pada penilaian beberapa ilmuwan sosial untuk
mengungkap haki-
kat keberadaan manusia. Sebuah jawaban yang
dilontarkan kepa-
da
mereka-mereka yang mempertanyakan asal-usul
dan seluk-
beluknya. Petanyaan tersebut telah menantang para
ahli ilmu-ilmu
sosial
dan filsafat selama
bertahun-tahun. Kini terdapat
suatu
pemahaman
umum mengenai sifat
dari keberadaan manusia
meskipun
beberapa aliran mempunyai
cara pendekatan yang
berbeda-beda.
Di antara mereka
ini lebih banyak
mengupas
eksistensi
manusia dalam konteks sosial
kebudayaannya, dengan
mengemukakan tentang teori konsep diri.
Secara
objektif, kedirian (self) dapat
dikatakan sebagai kesa-
daran terhadap diri sendiri dan bagaimana ia
memandang orang
lain.
Ahli yang telah
menyelidiki kedirian itu
di antaranya,
Charles
Horton Cooley, Goerge
Herbert Mead dan
Sigmund
Freud,
meskipun ketiganya memiliki
konsep dan teori
yang ber-
beda
sesuai dengan persepsi
ilmiah masing-masing namun
pada
dasarnya
ketiga tokoh tersebut
memiliki letak persamaan
teoritis
(Faisal dan Yasik, 1998), sebagai berikut :
1. Kedirian
itu bersifat sosial,
2. Kedirian
itu membutuhkan masyarakat untuk menjelaskannya
secara sempurna, dan
3. Kesadaran
individu terhadap dirinya timbul akibat pergaulan
dengan orang lain.
Dari
penegasan tiga tokoh
di atas lebih
spesifik Broom dan
Selznick dalam Ahmadi
(1991) memandang tiga
cara sosialisasi
dalam upaya membentuk suatu tingkah laku. Pertama, dalam pro-
ses
sosialisasi itu seseorang
mendapatkan bayangan dirinya
(self
image). Bayangan
diri itu timbul
setelah ia memperhatikan cara
orang
lain memandang dan
memperlakukan seseorang, hal
itu
bisa timbul akibat penilaian orang lain yang terus
menerus mem-
|
18
|
|
berikan
gambaran bahwa ia
tidak dapat dipercaya.
Sebaliknya,
suatu bayangan diri
yang menguntungkan bagi
perkembangan
seseorang, hal ini bisa timbul akibat penilaian orang lain.
Kedua, dalam
sosialisasi juga membentuk
kedirian yang ide-
alis orang bersangkutan untuk mengetahui dengan pasti apa-apa
yang harus ia
lakukan agar dapat
memperoleh pujian dan
rasa
cinta dari orang lain. Bentuk kedirian yang ideal itu juga berfungsi
untuk meningkatkan ketaatan si anak kepada norma-norma sosial.
Ketiga, pada
akhirnya sosialisasi juga
membentuk kedirian
manusia itu dengan jalan membangun suatu ego. Ego secara umum
dapat dikatakan sebagai
fungsi pengontrol yang integratif dalam
diri seseorang. Menurut
definisi yang populer,
ego dapat diper-
samakan dengan hati
nurani. Bila seseorang
menginjak dewasa,
diharapkan ia dapat mengontrol dirinya sendiri seolah-olah orang
lain juga mengamatinya, meskipun sebenarnya mungkin tidak ada
orang lain yang memperhatikannya.
Begitulah konsepsi teoretis yang dikembangkan oleh bebera-
pa ahli dalam
menanggapi masalah hakikat
keberadaan seorang
individu terkait dengan
lingkungan sosialnya. Secara
singkat
dapat dikatakan sosialisasi merupakan upaya belajar sosial indivi-
du untuk menyesuaikan kondisi,
situasi dan sinergisitas antara
kebutuhan individu dengan tuntutan eksternalnya.
Oleh sebab itu di sisi lain muncul juga suatu konsepsi teoritis
tentang sosialisasi yang dimaknai sebagai proses penyesuaian diri.
Konsep penyesuaian diri ini berasal dari biologi, dan merupakan
konsep dasar yang digunakan Teori Evolusi Darwin. Dalam biolo-
gi, istilah yang
digunakan ialah adaptasi. Menurut
teori tersebut
hanya organisme yang
berhasil menyesuaikan diri
terhadap
lingkungan fisiknya sajalah yang dapat tetap hidup.
Tingkah laku manusia
itu diterangkan sebagai
reaksi-reaksi
terhadap tuntutan atau tekanan dari lingkungan eksternalnya. Di
daerah yang dingin manusia harus berpakaian tebal untuk menga-
tasi iklim. Contoh
tersebut menunjukkan bahwa
tingkah laku
manusia itu merupakan
penyesuaian diri terhadap
tuntutan-
tuntutan lingkungan fisik.
Namun karena manusia
hidup dalam masyarakat, maka
tingkah lakunya bukan
sekadar penyesuaian diri
terhadap tun-
tutan-tuntutan fisik lingkungan
-nya, melainkan juga merupakan
penyesuaian diri terhadap
tuntutan dan tekanan
sosial dari luar.
|
Sehingga konsep adaptasi yang
berasal dari biologi itu dalam ilmu-
ilmu
sosial (khususnya Psikologi)
mendapat istilah, adjusment.
Baik adaptasi maupun adjusment kita
terjemahkan dengan "proses
penyesuaian
diri terhadap lingkungan
fisik maupun lingkungan
sosial".
Proses penyesuaian diri
itu merupakan reaksi
terhadap
tuntutan-tuntutan
untuk dirinya. Tuntutan-tuntutan tersebut
dapat digolongkan menjadi tuntutan internal dan
eksternal.
Keseimbangan
antara pemenuhan dorongan
internal dengan
penyesuaian terhadap tuntutan lingkungan luarnya akan
mengha-
silkan
kepuasan bagi seorang
individu. Adapun kepuasan
itu
dapat
berupa kepuasan psikis,
efisiensi kerja atau
pengakuan
sosial
dari masyarakat atas
kerja yang dilakukannya, sehingga
pada
tahap selanjutnya akan
mengkisahkan wujud keserasian
aktualisasi
kebutuhan individu sebagai
makhluk individu
maupun makhluk
sosial. Namun apabila kedua komponen
terse-
but
justru menimbulkan benturan-benturan maka
bisa memicu
konflik yang menghambat upaya pemenuhan kebutuhannya.
Oleh
sebab itu diperlukan
proses penyesuaian yang
lebih
detail untuk mempertemukan kedua kutub ekstrim
tersebut supa-
ya menemui keselarasan. Proses penyesuaian diri itu
suatu proses
progresif yang memungkinkan individu dapat menguasai
impuls-
impuls pribadinya maupun tuntutan lingkungannya.
Adapun pro-
ses penyesuaian itu dilalui dengan tiga tahap, yakni
:
1. Tahap
akomodasi, yakni rangkaian penyesuaian diri individu
untuk mengubah atau menahan impuls-impuls dalam
dirinya.
Dalam
tahap ini individu
berusaha menahan diri
dan mene-
rima cara hidup atau budaya masyarakatnya.
2. Tahap
asimilasi, merupakan proses perpaduan akibat interaksi
titik
ekstrim antara kepentingan individu
dengan kondisi-
kondisi
lingkungannya sehingga dapat
menimbulkan hal-hal
yang benar-benar baru dari proses awal. Sebagai
contoh, untuk
mengubah tanah pertanian yang tandus menjadi subur
orang
menggunakan pupuk.
3. Tahap
integrasi, adalah rangkaian upaya sistemik dari seorang
individu untuk mengorganisasikan hasil-hasil
integrasi mutu-
alistis
antara
kepentingan-kepentingan
tersebut ke dalam
suatu
konteks kepribadian yang
selaras dengan lingkungan
luarnya.
|
19
|
|
Penyesuaian Diri
|
Serasi
|
Tidak Serasi
|
Kepuasan
|
Konflik
- Akomodasi
- Asimilasi
- Integrasi
|
Gambar 2
Skema Proses Penyesuaian Diri Individu dengan
Lingkungan Luarnya
Sosialisasi
atau dengan kata
lain disebut sebagai
proses
belajar
sosial merupakan proses
yang berlangsung sepanjang
hidup
(lifelong process), bermula
sejak lahir hingga
mati. Proses
sosialisasi itu terjadi dalam kelompok atau institusi
sosial di dalam
masyarakat. Diantara kelompok atau institusi sosial
yang berperan
penting dalam sosialisasi anak adalah keluarga, kelompok
sebaya,
sekolah,
kelompok keagamaan, perkumpulan
pemuda, institusi
politik dan ekonomi, dan media massa.
Sosialisasi sebagai bagian dari pendidikan
berlangsung dalam
tiga komponen penting yang menjadi faktor penentu
terbentuknya
kepribadian
seseorang. Oleh Ki
Hadjar Dewantara faktor-faktor
tersebut
dirangkum dalam satu
istilah bernama Tri
Pusat
Pendidikan, yaitu
meliputi rumah atau
keluarga, sekolah atau
lembaga
pendidikan formal, masyarakat atau
pendidikan non
formal.
a. Di rumah
atau di dalam
keluarga anak berinteraksi dengan
orang tua (atau
pengganti orang tua)
dan segenap anggota
keluarga lainnya. Ia memperoleh pendidikan informal,
berupa
pembentukan pembiasaan-pembiasaan (habit
formation) seeprti,
|
cara makan, tidur, bangun pagi, gosok
gigi, mandi, cara berpa-
kaian,
tata krama, sopan
santun, religi dan
lain sebagainya.
Pendidikan
informal dalam keluarga akan
banyak membantu
dalam
meletakkan dasar pembentukan kepribadian anak.
Misalnya
sikap religius, disiplin,
lembut/kasar, rapi/rajin,
penghemat/pemboros, dan sebagainya dapat tumbuh,
bersemi
dan berkembang senada dan seirama dengan kebiasaannya
di
rumah.
b. Di sekolah
anak berinteraksi dengan
guru-guru (pengajar)
beserta
bahan-bahan pendidikan dan
pengajaran, teman-
teman peserta didik lainnya, serta pegawa-pegawai
tata usaha.
Ia
memperoleh pendidikan formal
(terprogram dan terjabar-
kan dengan tetap) di sekolah berupa pembentukan
nilai-nilai,
pengetahuan, keterampilan dan sikap terhadap bidang
studi/
mata
pelajaran. Akibat bersosialisasi dengan
pendidikan for-
mal,
terbentuklah
kepribadiannya untuk tekun
dan rajin
belajar
disertai dengan keinginan
untuk meraih cita-cita
aka-
demis yang setinggi-tingginya.
c. Di masyarakat anak
berinteraksi dengan seluruh
anggota
masyarakat yang beraneka
ragam (heterogen), seperti
orang-
orang,
benda-benda, dan peristiwa-peristiwa. Ia
memperoleh
pendidikan
nonformal atau pendidikan
luar sekolah berupa
berbagai pengalaman hidup. Agar masyarakat dapat
melanjut-
kan eksistensinya, maka kepada generasi muda harus
diterus-
kan atau diwariskan
nilai-nilai, sikap, pengetahuan, keteram-
pilan
dan bentuk-bentuk pola
perilaku lainnya. Setiap
masyarakat
meneruskan kebudayaannya (beserta
perubahan-
nya) kepada
generasi penerusnya melalui
pendidikan dan
interaksi sosial. Dengan demikian pendidikan dapat
diartikan
sebagai sosialisasi, dan belajar adalah sosialisasi
yang berkesi-
nambungan.
B. Beberapa
Pendekatan dalam Sosialisasi
Bagaimana sosialisasi itu dilaksanakan ? Dalam studi
sosiolo-
gi para teoretikus mengemukakan beberapa teori
sosialisasi yang
menjelaskan cara melakukan sosilasisasi, di mana
cara-cara terse-
but
merupakan proses komunikasi
sosial dan komunikasi
antar-
budaya yang selama ini sekaligus menjadi medium dari
interaksi
|
20
|
|
individu dalam
dunia sosialnya. Teori
tersebut yakni sebagai
berikut.
1. Teori Sosialisasi
Pasif. Pertama, dari
Talcot Parson,1959 dalam
Liliweri (2001) yang
mengemukakan bahwa proses
sosialisasi
merupakan bagian dari
perspektif fungsionalisme. Sosialisasi
seperti belajar berlangsung terus selama hidup namun proses
yang paling dramatis
dikaitkan dengan anak
didik. Jadi, ada
proses yang mengharuskan perubahan
terhadap struktur
kepribadian dasar. Di
satu pihak, tuntutan
anak didik harus
diubah namun di
lain pihak anak
didik masih bergantung
pada keteraturan dalam struktur dan
fungsi, misalnya fungsi
keluarga. Kedua, sosialisasi
dari Kluchkon yang
konsepnya
didasarkan pada proses mengubah orientasi anak didik. Misal-
nya orientasi nilai,
orientasi terhadap kodrat,
alam, waktu,
modalitas. Ketiga, sosialisasi dari Mc. Clelland bahwa keingin-
an untuk mencapai prestasi pribadi, kebutuhan akan berpres-
tasi sudah merupakan
keinginan setiap manusia.
Ketiga-tiga-
nya tetap menekankan
pengaruh dari struktur
sosiokultur
dominan yang paling vital membentuk individu dalam proses
sosialisasi. Individu hanya
sekadar bagian kecil
dari sistem
sosial makro yang
melingkupi kehidupannya hanya
bermak-
sud memberikan reaksi-reaksi pasif
untuk menyesuaikan
tuntutan-tuntutan eksternal.
2. Teori Sosialisasi
Aktif. Menurut Mead
dalam Liliweri (2001)
manusia tidak saja
merespon nilai baru
tetapi menciptakan
peranannya dalam kondisi material di mana ia hidup agar bisa
sukses merespon hal
baru. Kondisi itu
hanya bisa dibentuk
melalui proses interaksi dengan orang lain.
3. Teori sosialisasi
radikal, yang berlangsung
dalam masyarakat
yang berlapis-lapis. Konsep
ini mengacu pada
hegemoni
Gramsci yang mengemukakan bahwa
kemampuan kelompok
dominan selalu berusaha
untuk mempertahankan statusnya
kemudian mensosialisasikan nilainya kepada yang lain.
C. Sekolah
dan Sosialisasi
1. Hakikat Sekolah
Sekolah memegang peranan penting dalam proses sosialisasi
anak, walaupun sekolah
merupakan hanya salah
satu lembaga
yang bertanggung jawab atas pendidikan anak. Anak mengalami
perubahan dalam perilaku sosialnya setelah ia masuk ke sekolah.
|
Di rumah ia hanya bergaul dengan
anggota keluarga yang terbatas
jumlahnya,
terutama dengan anggota
keluarga dan anak-anak
tetangga.
Suasana dirumah bercorak
informal dan banyak tin-
dakan yang diizinkan menurut suasana di rumah.
Anak itu mengalami
suasana yang berbeda
di sekolah. Ia
bukan
lagi anak istimewa
yang diberi perhatian
khusus oleh ibu
guru,
melainkan hanya salah
seorang di antara
puluhan murid
lainnya di dalam kelas. Dengan suasana kelas demikian, anak itu
melihat dirinya sebagai salah seorang di antara
anak-anak lainnya.
Jadi di sekolah
anak itu belajar
menyesuaikan diri dengan
ling-
kungan
sosial yang baru
yang memperluas keterampilan sosial-
nya. Ia juga
berkenalan dengan anak
yang berbagai ragam
latar
belakang
dan belajar untuk
menjalankan peranannya dalam
struktur sosial yang dihadapinya di sekolah.
Dalam
perkembangan fisik dan
psikologis anak, selanjutnya
anak
memperoleh
pengalaman-pengalaman baru dalam
hubung-
an
sosialnya dengan anak-anak
lain yang berbeda
status sosial,
kesukuan, agama, jenis kelamin dan kepribadiannya.
Lambat laun
ia
membebaskan diri dari
ikatan rumah tangga
untuk mencapai
kedewasaan dalam hubungan sosialnya dengan masyarakat
luas.
Sebagian
besar proses sosialisasi terjadi
secara informal.
Namun
tiap-tiap masyarakat mengenal
institusi sosial khusus
tempat
berlangsungnya proses sosialisasi secara
formal yang
disebut sekolah. Dalam sejarah telah diketemukan
sekolah-sekolah
di Mesir dan
Tiongkok Kuno kira-kira
2000 tahun sebelum
Masehi.
Sekolah-sekolah tempat mendidik
para pendeta dan
ulama
hampir terdapat pada
semua masyarakat. Pada
zaman
dahulu
pendidikan sekolah merupakan hak
istimewa bagi
golongan
elite, baik golongan
politik, agama, militer
maupun
ekonomi.
Dewasa
ini pendidikan sekolah
menjadi makin penting
dan
mencakup
ruang lingkup yang
lebih luas. Masyarakat
modern
menuntut adanya pendidikan sekolah yang bersifat
massal. Untuk
itu
masyarakat modern mencurahkan
investasinya kepada insti-
tusi-institusi
pendidikan. Seperti proses
sosialisasi pada umum-
nya,
pendidikan sekolah mempunyai
dua aspek penting,
yaitu
aspek
individual dan sosial.
Di satu pihak
pendidikan sekolah
bertugas mempengaruhi dan menciptakan kondisi yang
memung-
kinkan perkembangan pribadi anak secara optimal. Di
pihak lain
|
21
|
|
pendidikan sekolah
bertugas mendidik agar
anak mengabdikan
dirinya kepada masyarakat.
Menurut Webster, 1991
(dalam Hasbullah, 1999)
sekolah
merupakan tempat atau
institusi/lembaga yang secara
khusus
didirikan untuk menyelenggarakan proses
belajar mengajar atau
pendidikan. Sebagai institusi,
sekolah merupakan tempat
untuk
mengajar murid-murid, tempat
untuk melatih dan
memberi
instruksi-instruksi tentang suatu lapangan keilmuan dan keteram-
pilan tertentu kepada siswa. Tempat yang dinamakan sekolah itu
merupakan satu kompleks
bangunan, laboratorium, fasilitas fisik
yang disediakan sebagai pusat kegiatan belajar dan mengajar.
Berdasarkan pendapat itu
maka sekolah mengandung
dua
makna, secara fisik
sekolah terdiri dari
bangunan-bangunan
gedung dan laboratorium, jadi
sekolah dalam artian
material.
Sedangkan yang nonfisik
terdiri dari sistem-sistem hubungan
antara mereka yang ditugaskan untuk mengajar (guru, pelatih dan
lain-lain) dengan yang
diajar (murid, siswa),
jadi sekolah dalam
artian spiritual.
Kedua artian tersebut
di atas saling
mendukung, misalnya
guru tidak bisa
mengajar,
mensosialisasikan nilai-nilai (artian
spritual) dengan sempurna
apabila tidak didukung
oleh fasilitas
(artian material) belajar-mengajar yang
memadai. Baik artian
material maupun spiritual, sekolah tetap sekolah, dia merupakan
suatu "area" khusus
dalam strata sosial
dan budaya masyarakat
sehingga eksistensi sekolah
yang mendidik manusia
tidak dapat
dipisahkan dengan konteks
masyarakat. Jadi sekolah
merupakan
salah satu agen
sosialisasi norma dan
nilai, sekolah merupakan
tempat lembaga (institusi) pendidikan menyelenggarakan seluruh
kegiatannya baik praktis maupun substantif.
Gambar berikut ini menjelaskan kedudukan manusia sebagai
individu dalam lingkungan sosial dan budaya masyarakat.
|
Masyarakat
Komunitas
Organisasi
Kelompok
Keluarga
|
Individu
|
Gambar 3
Kedudukan Manusia dalam Lingkungan Sosial dan Budaya
Masyarakat
Secara
sosiologis, pendidikan juga
mencakup proses
sosialisasi
yang dilembagakan melalui
sekolah sebagai institusi,
karena
kita membawa anak-anak
dari lingkungan keluarga
ke
lingkungan
yang lebih luas.
Perbuatan ini sama
saja dengan
mengalihkan
perhatian kita dari
pembentukan identitas individu
dalam
suatu unit keluarga
kepada pembentukan struktur
sosial
yang
lebih luas dan
pada gilirannya akan
saling memberikan
pengaruh
oleh identitas tersebut.
Jadi, kita beralih
dari suatu
orientasi
mikro ke makro
yang dengan logika
itu maka
pendidikan secara
bersistem tetap diperlukan untuk
memanusia-
kan manusia utuh dan kaya arti.
Sebagaimana telah terungkap dalam Liliweri (2001) ada
bebe-
rapa
gagasan teoretis yang
dapat digunakan untuk
menjelaskan
pentingnya
pendidikan modern bagi
manusia. Pertama, Teori
Fungsionalisme dari Collins. Teori ini berpendapat
bahwa sistem
|
22
|
|
pendidikan modern
berasal dari kebutuhan
riil fungsional di
lapangan. Sebagai contoh,
industrialisasi telah menyebabkan
semakin besarnya tuntutan tingkat keterampilan kerja. Akibatnya,
pendidikan harus diperluas
agar anak didik
berfungsi sesuai
dengan kebutuhan untuk
mengisi struktur kerja.
Ahli lain yang
memfokuskan diri membahas peran utama sekolah dalam masya-
rakat adalah Talcot
Parsons tahun 1959,
yang tulisan-tulisannya
menganut pendekatan aliran
fungsionalis. Parsons melakukan
suatu upaya ilmiah
untuk menunjukkan fungsi
mendasar dari
sekolah sebagai perantara
hubungan lintas lembaga
pendidikan
primer menuju orientasi pendidikan sekunder di mana anak yang
sebelumnya mendapat pembinaan dan
naungan kehidupan
keluarga maka di
dalam sekolah anak
akan dipersiapkan untuk
mempelajari peran-peran orang
dewasa dalam struktur
sosial
masyarakat modern. Dalam Mifflen (1986) dia melihat dua fungsi
dari peran sekolah yaitu:
a. Mengarahkan anak
dari orientasi kekhususan ke
orientasi
yang universal serta
dari orientasi askriptif
menuju orientasi
prestasi (meritokratis), dan
b. Alokasi seleksi
atau diferensial ke
peran-peran dewasa yang
mendapat kedudukan tidak sama.
Analisis fungsionalnya Parsons
didasarkan pada konsepsi
teoretisnya yang disebut
sistem nilai umum
dan kebutuhan untuk
mengalokasikan individu pada
peran-peran tertentu dalam
masyarakat. Sekolah merupakan struktur utama untuk menanam-
kan sistem nilai umum ini terutama untuk mengarahkan individu
ke berbagai peran-peran orang dewasa.
Kedua, Teori
Marx . Menurut Marx bahwa sistem pendidikan
modern timbul sebagai sistem disiplin kerja bagi usaha menguat-
nya pembagian kerja antara kelas pekerja dengan kelas penguasa
kapital. Kebutuhan para
kapitalis telah mengisi
pendidikan
sehingga tidak memberikan kesempatan pada
kelas pekerja
mengenyam pendidikan. Dalam
Teori Marxis pendidikan
merupakan suatu lembaga
lain yang berada
di bawah kekuatan
superstruktur kapitalis tersebut. Tujuannya adalah untuk melegi-
timasi interaksi eksploitatif kepada kaum proletar dengan menda-
sarkan pada faktor-faktor produksi yang tercermin dalam struktur
sosialnya.
|
Ketiga, Teori Inflasi
Kredensial dari Collins
dan Dore.
Menurut
mereka bahwa pendidikan
adalah komoditas bernilai
tinggi
yang dicari oleh individu-individu sebagai
alat sukses
ekonomi dan mobilitas ke atas. Sistem pendidikan
menjadi suatu
fokus
untuk mendapatkan diploma
dan gelar kesarjanaan.
Terjadilah
apa yang disebut
dengan Inflasi Kredensial (Inflasi
Ijasah),
karena penyelenggara pendidikan
cenderung mengejar
jumlah
tamatan (kuantitas) sedangkan
prinsip kualitas kurang
mendapat
perhatian. Akibatnya terjadi
kelebihan ijasah sehingga
ada ijasah yang tidak dapat digunakan.
Keempat, Teori
Pendidikan sebagai pembangunan bangsa.
Asumsi
teori ini adalah
pendidikan massal modern
timbul dan
meluas untuk dapat memberi sosialisasi intensif
kepada individu-
individu
yang menjadi warga
negara yang layak
dalam masya-
rakat modern, rasionalistis dan industri maju
berteknologi tinggi.
Pendidikan
menjadi suatu alat
besar yang mengikat
individu-
individu pada tujuan sistem politik modern dalam
meningkatkan
pembangunan
ekonomi dan modernisasi masyarakat secara
menyeluruh.
Beberapa konsep teoretis di atas telah memaparkan
rangkaian
analisis
tentang peran dan
fungsi lembaga sekolah
dalam kehi-
dupan masyarakat khususnya menjadi salah satu agen
sosialisasi
bagi individu. Tentu saja masing-masing konsep
tersebut memiliki
signifikansi
yang berbeda-beda terhadap
model penerapan dan
realitas pendidikan (sekolah) kita. Sesuai dengan
konstruksi sosial
dan
kebudayaan yang terbentuk
maka secara prinsipil
model
pendidikan kita diarahkan
pada tipe birokratis bagi
seluruh
kalangan (education for
all) dengan fokus
teori pendidikan untuk
membangun bangsa.
Sebagai
lembaga pendidikan formal,
sekolah yang lahir
dan
berkembang
di dalam masyarakat
merupakan perangkat yang
berkewajiban
memberikan pelayanan kepada
masyarakat dalam
mendidik warga negara. Sekolah di kelola secara
formal, hierarkis
dan kronologis yang berhaluan pada falsafah dan
tujuan nasional
suatu bangsa.
2.
Sifat-Sifat Lembaga Pendidikan Sekolah
Sekolah
merupakan lembaga pendidikan kedua
setelah
keluarga
yang bersifat formal
namun tidak kodrati.
Kendatipun
|
23
|
|
demikian banyak
orang tua (dengan
berbagai alasan) menyerah-
kan tanggung jawab pendidikan anaknya kepada sekolah.
Dari kenyataan tersebut,
maka menurut Hasbullah
(1999)
sifat-sifat dari pendidikan sekolah tersebut adalah:
a. Tumbuh Sesudah Keluarga
(pendidikan kedua)
Dalam sebuah keluarga tidak
selamanya tersedia kesempatan
dan kesanggupan memberikan
pendidikan kepada anaknya,
sehingga keluarga menyerahkan
tanggung jawabnya kepada
sekolah. Di sekolah, anak-anak memperoleh kecakapan seperti
membaca, menulis, berhitung,
menggambar serta ilmu-ilmu
yang lain. Di samping itu juga diberikan pelajaran menghargai
keindahan, membedakan benar
dan salah serta
pendidikan
agama. Materi-materi tersebut
jelas sangat sulit
diselenggara-
kan di lingkungan keluarga.
b. Lembaga Pendidikan Formal
Dinamakan lembaga pendidikan formal,
karena sekolah
mempunyai bentuk yang
jelas, dalam arti
memiliki program
yang telah direncanakan dengan
teratur dan ditetapkan
dengan resmi, misalnya
di sekolah ada
rencana pengajaran,
jam pelajaran dan peraturan lain yang menggambarkan bentuk
sekolah secara keseluruhan.
c. Lembaga Pendidikan yang
Tidak Bersifat Kodrati
Lembaga pendidikan didirikan
atas dasar hubungan
darah
antara guru dan
murid seperti halnya
di keluarga, tetapi
berdasarkan hubungan yang bersifat formal. Murid juga secara
kodrat harus mengikuti
pendidikan sekolah tertentu,
karena
itu sekolah merupakan pendidikan yang tidak bersifat kodrati.
Dalam hal ini sudah
barang tentu hubungan antara
pendidik
dan anak didik
di sekolah tidak
seakrab hubungan di
dalam
kehidupan keluarga, sebab di antara guru dan murid tidak ada
ikatan berdasarkan hubungan
darah, di samping
itu terlalu
banyak murid yang harus dihadapi oleh guru.
3. Fungsi
dan Peranan Lembaga Sekolah
Dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003
tentang
Sistem Pendidikan Nasional,
disebutkan bahwa jalur
pendidikan
sekolah/formal merupakan jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang (Pasal 1 ayat 10).
|
Peranan sekolah sebagai lembaga yang
membantu lingkung-
an keluarga, maka sekolah bertugas mendidik dan
mengajar serta
memperbaiki
dan memperhalus tingkah
laku anak didik
yang
dibawa dari keluarganya. Sementara dalam perkembangan
kepri-
badian
anak didik, peranan
sekolah dengan melalui
kurikulum,
antara lain yaitu,
a. Anak didik
belajar bergaul sesama
anak didik, antara
guru
dengan anak didik, dan antara anak didik dengan orang
yang
bukan guru (karyawan).
b. Anak
didik belajar mentaati peraturan-peraturan sekolah.
c.
Mempersiapkan anak didik
untuk menjadi anggota
masya-
rakat yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
Jelasnya
bisa dikatakan bahwa
sebagian besar pembentukan
kecerdasan
(pengertian), sikap dan
minat sebagai bagian
dari
pembentukan kepribadian, dilaksanakan oleh sekolah.
Kenyataan
ini
menunjukkan, betapa penting
dan besar pengaruh
dari
sekolah.
Tentang
fungsi sekolah itu
sendiri, sebagaimana yang
dipa-
parkan oleh Suwarno,1990 (dalam Hasbullah ,1999)
adalah sebagai
berikut:
a.
Mengembangkan kecerdasan pikiran dan memberikan penge-
tahuan;
di samping bertugas
untuk mengembangkan pribadi
anak
didik secara menyeluruh, fungsi
sekolah yang lebih
penting
sebenarnya adalah menyampaikan pengetahuan
dan
melaksanakan
pendidikan kecerdasan. Fungsi
sekolah dalam
pendidikan
intelektual dapat disamakan dengan
fungsi
keluarga dalam pendidikan moral.
b.
Spesialisasi; sebagai konsekuensi
makin meningkatnya kema-
juan masyarakat ialah makin bertambahnya diferensiasi
sosial
yang melaksanakan tugas tersebut. Sekolah mempunyai
fungsi
sebagai
lembaga sosial yang
spesialisasinya dalam bidang
pendidikan dan pengajaran.
c.
Efisiensi; terdapatnya sekolah
sebagai lembaga sosial
yang
berspesialisasi
di bidang pendidikan
dan pengajaran, maka
pelaksanaan
pendidikan dan pengajaran
dalam masyarakat
menjadi lebih efisien, sebab:
1) Apabila
tidak ada sekolah dan pekerjaan mendidik hanya
harus
dipikul oleh keluarga,
maka hal ini
tidak akan
|
24
|
|
efisien, karena
orang tua terlalu
sibuk dengan pekerjaan-
nya, serta banyak
orang tua tidak
mampu melaksanakan
pendidikan dimaksud,
2) Oleh karena pendidikan
sekolah dilaksanakan dalam pro-
gram yang tertentu dan sistematis, dan
3) Di sekolah
dapat dididik sejumlah
besar anak secara
sekaligus.
d. Sosialisasi; sekolah
mempunyai peranan yang
penting di
dalam proses sosialisasi, yaitu
proses membantu perkem-
bangan individu menjadi makhluk sosial, makhluk yang dapat
beradaptasi dengan baik di masyarakat. Sebab bagaimanapun
pada akhirnya dia berada di masyarakat.
e. Konservasi dan transmisi
kultural;
Fungsi lain dari
sekolah adalah memelihara
warisan budaya
yang hidup dalam
masyarakat dengan jalan
menyampaikan
warisan kebudayaan tadi (transmisi kultural) kepada generasi
muda, dalam hal ini tentunya adalah anak didik.
|
f.
|
Transisi dari rumah ke masyarakat;
ketika berada di keluarga,
kehidupan
anak serba menggantungkan diri
pada orang tua,
maka
memasuki sekolah di
mana ia mendapat
kesempatan
untuk
melatih berdiri sendiri
dan tanggung jawab
sebagai
persiapan sebelum ke masyarakat.
|
D. Keluarga dan Sosialisasi
Lingkungan
keluarga merupakan lingkungan pendidikan
yang
pertama, karena dalam
keluarga inilah anak
pertama-tama
mendapatkan didikan dan bimbingan. Juga dikatakan
lingkungan
yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak
adalah di
dalam
keluarga, sehingga
pendidikan yang paling banyak
diteri-
ma oleh anak adalah dalam keluarga.
Tugas
utama dari keluarga
bagi pendidikan anak
adalah
sebagai
peletak dasar bagi
pendidikan akhlak dan
pandangan
hidup
keagamaan. Sifat dan
tabiat anak sebagian
besar diambil
dari kedua orang tuanya dan dari anggota keluarga
yang lain.
Di dalam pasal 1 UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
dinya-
takan
bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir dan
batin antara
seorang
pria dan seoarang
wanita sebagai suami
isteri dengan
tujuan membentuk keluarga yang bahadia dan sejahtera,
berdasar-
|
kan Ketuhanan Yang Maha Esa. Anak yang
lahir dari perkawinan
ini
adalah anak yang sah dan
menjadi hak serta tanggung jawab
kedua
orang tuanya. Memelihara dan
mendidiknya, dengan
sebaik-baiknya.
Kewajiban kedua orang
tua mendidik anak
ini
terus berlanjut sampai ia dikawinkan atau dapat
berdiri sendiri.
Dari
definisi tersebut dapat
dirumuskan intisari pengertian
keluarga, yaitu sebagai berikut,
1.
Keluarga merupakan kelompok
sosial kecil yang
umumnya
terdiri atas ayah, ibu, dan anak,
2.
Hubungan sosial di
antara anggota keluarga relatif
tetap dan
didasarkan atas ikatan darah, perkawinan dan / atau
adopsi,
3. Hubungan
antar anggota keluarga dijiwai oleh suasana afeksi
dan rasa tanggung jawab, dan
4. Fungsi
keluarga adalah memelihara, merawat, dan melindungi
anak
dalam rangka sosialisasinya agar
mereka mampu
mengendalikan diri dan berjiwa sosial.
Dengan demikian terlihat betapa besar tanggung jawab
orang
tua terhadap anak. Bagi seorang anak, keluarga
merupakan perse-
kutuan
hidup pada lingkungan keluarga
tempat di mana
ia
menjadi
diri pribadi atau
diri sendiri. Keluarga
juga merupakan
wadah
bagi anak dalam
konteks proses belajarnya untuk
mengembangkan dan membentuk diri dalam fungsi
sosialnya. Di
samping itu, keluarga merupakan tempat belajar bagi
anak dalam
segala
sikap untuk berbakti
kepada Tuhan sebagai
perwujudan
nilai hidup yang tertinggi.
Dengan
demikian jelaslah bahwa orang
yang pertama dan
utama
bertanggung jawab terhadap
kelangsungan hidup dan
pendidikan anak adalah orang tua.
1.
Perkembangan Fungsi dan Peranan Keluarga
Keluarga
merupakan institusi sosial
yang bersifat universal
dan multifungsional. Fugnsi
pengawasan, sosial, pendidikan,
keagamaan,
perlindungan, dan rekreasi
dilakukan oleh keluarga
terhadap anggota-anggotanya. Oleh karena proses
industrialisasi,
urbanisasi
dan sekularisasi maka
keluarga dalam masyarakat
modern
kehilangan sebagian dari
fungsi-fungsi tersebut di
atas.
Meskipun
perubahan masyarakat telah
mendominasi, namun
|
25
|
|
fungsi
utama keluarga tetap
melekat, yaitu melindungi,
memeli-
hara, sosialisasi, dan
memberikan suasana kemesraan
bagi
anggotanya.
Menurut Vembriarto (1990) ada tiga macam fungsi yang tetap
melekat sebagai cirri hakiki keluarga, yaitu sebagai berikut.
a. Fungsi biologis
Keluarga merupakan tempat
lahirnya anak-anak, fungsi
bio-
logis orang tua ialah
melahirkan anak. Fungsi ini
merupakan
dasar kelangsungan hidup masyarakat. Namun fungsi ini juga
mengalami perubahan, keluarga
sekarang cenderung menyu-
kai jumlah anak yang sedikit. Kecenderungan ini dipengaruhi
oleh faktor-faktor sebagai
berikut, : (1)
perubahan tempat
tinggal keluarga dari desa ke kota, (2) makin sulitnya fasilitas
perumahan, (3) banyaknya anak dipandang sebagai hambatan
untuk mencapai sukses
material keluarga, (4)
banyak anak
dipandang sebagai penghambat tercapai
kemesraan dalam
keluarga, (5) meningkatnya taraf pendidikan wanita berakibat
berkurangnya kesuburan kandungan,
(6) menipisnya penga-
ruh ajaran agama
yang menekankan agar
keluarga mempu-
nyai banyak anak, (7) makin
banyaknya ibu-ibu yang bekerja
di luar rumah,
dan (8) makin
meluasnya pengetahuan dan
penggunaan alat-alat kontrasepsi.
b. Fungsi afeksi
Dalam keluarga terjadi
hubungan sosial yang
penuh dengan
afeksi-afeksi kemesraan. Hubungan afektif ini tumbuh sebagai
akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan.
Dari hubungan cinta
kasih ini lahirlah
hubungan per-
saudaraan, persahabatan, kebiasaan,
identifikasi, persamaan
pendangan mengenai nilai-nilai. Dasar
cinta kasih dan
hu-
bungan afektif ini
merupakan faktor penting
bagi perkem-
bangan pribadi anak.
Dalam masyarakat yang
makin imper-
sonal, sekuler dan
asing, pribadi sangat
membutuhkan hu-
bungan afeksi yang
secara khusus hanya
terdapat dalam
kehidupan keluarga.
c. Fungsi sosialisasi
Fungsi sosialisasi ini
menunjuk peranan keluarga
dalam
membentuk kepribadian anak.
Melalui interaksi sosial
dalam
|
keluarga itu
anak mempelajari pola-pola
tingkah laku, sikap,
keyakinan,
cita-cita dan nilai-nilai
dalam masyarakat dalam
proses perkembangan pribadinya.
Apabila
kita perhatikan kecenderungan yang
membawa
proses
perkembangan zaman dari
waktu ke waktu
maka perlu
ada
adaptasi lembaga-lembaga kehidupan
(termasuk keluarga)
agar tetap mampu mempertahankan peranan dan fungsi,
khusus-
nya di zaman yang kian modern, sekularistis dan
materialistis ini.
Perubahan
sosial yang datang
bertubi-tubi rupanya telah mem-
bawa
pengaruh perubahan orientasi
kehidupan keluarga dari
keluarga
tradisional mengarah pada
keluarga modern. Keluarga
tradisional pada umumnya masih merupakan kesatuan
produksi,
sedangkan
keluarga modern cenderung berorientasi pada
kesatuan konsumsi.
Proses
perubahan ekonomi pada
masyarakat industri telah
mengubah
sifat keluarga, dari
institusi pedesaan yang
agraris
menuju
ke institusi perkotaan
yang bernuansa industrialis.
Dengan demikian peranan anggota-anggota keluarga juga
menga-
lami
perubahan. Fungsi produksi
hilang, keluarga menjadi
kesatuan konsumsi semata-mata. Keluarga di kota tidak
lagi mela-
kukan fungsi produksi langsung.
Anggota-anggota
keluarga bekerja di
luar untuk mendapat-
kan upah atau gaji, sebagai sarana untuk mencukupi
kebutuhan-
kebutuhan
hidupnya (makanan, pakaian,
dan lain-lain). Perge-
seran
fungsi produksi keluarga
itu tampak pada
tumbuh kem-
bangnya
industri pakaian jadi,
alat-alat rumah tangga,
makanan,
toko makanan, restoran, supermarket, dan sebagainya.
Oleh
karena itu di
sini juga akan
dipaparkan fungsi-fungsi
keluarga
yang mengalami pergeseran
sebagai akibat pengaruh
dari gencarnya perubahan
sosial yang melingkupi
aktivitas-akti-
vitasnya.
Fungsi-fungsi sosial yang
mengalami perubahan itu
antara lain yaitu,
a. Fungsi
pendidikan
Dahulu
keluarga merupakan satu-satunya institusi
pendi-
dikan.
Fungsi pendidikan keluarga
ini telah mengalami
banyak perubahan. Secara informal fungsi pendidikan
keluar-
ga masih tetap
penting, namun secara
formal fungsi pendi-
dikan itu telah diambil alih oleh sekolah. Proses
pendidikan di
|
26
|
|
sekolah menjadi makin lama dan
pengaruhnya menjadi makin
penting. Apabila dulu
fungsi sekolah terbatas
pada pendi-
dikan intelek, maka
kecenderungan sekarang pendidikan
sekolah diarahkan kepada anak sebagai seorang pribadi. Guru
dengan bantuan konselor,
psikolog sekolah, psikolog
klinis,
dan pekerja sosial bersama-sama membantu anak agar mereka
berhasil menyesuaikan diri dalam masyarakat.
b. Fungsi rekreasi
Dulu keluarga merupakan
medan rekreasi bagi
anggota-
anggotanya. Sekarang pusat-pusat
rekreasi di luar
keluarga,
seperti gedung bioskop,
panggung sirkus, lapangan olah raga,
kebun binatang, taman-taman, nightclub, komunitas pengguna
jasa internet dan
lain sebagainya dipandang
lebih menarik.
Demikian pula rekreasi
dalam kelompok sebaya
menjadi
makin penting bagi anak-anak. Perubahan tersebut menimbul-
kan dua macam akibat, yaitu jenis-jenis rekreasi yang dialami
oleh anggota-angota keluarga
menjadi lebih bervariasi,
dan
anggota-anggota keluarga lebih cenderung mencari hiburan di
luar keluarga.
c. Fungsi keagamaan
Dulu keluarga merupakan
pusat pendidikan upacara
ritual
dan ibadah agama bagi para anggotanya di samping peranan
yang dilakukan oleh institusi agama. Proses sekularisasi dalam
masyarakat dan merosotnya pengaruh institusi agama menim-
bulkan kemunduran fungsi keagamaan keluarga.
d. Fungsi perlindungan
Dahulu keluarga berfungsi
memberikan perlindungan, baik
fisik maupun sosial,
kepada para anggotanya. Sekarang
banyak fungsi perlindungan dan
perawatan ini telah
diambil
alih oleh badan-badan
sosial, seperti tempat
perawatan bagi
anak-anak cacat tubuh
dan mental, anak
yatim piatu, anak-
anak nakal, orang-orang lanjut usia, perusahaan asuransi dan
sebagainya.
2. Keluarga
sebagai Kelompok Primer
Proses perubahan masyarakat
dari masarakat agraris
yang
masih tradisional ke
arah masyarakat industri
yang bernuansa
|
modern
telah mempengaruhi perubahan
organisasi keluarga,
yaitu dari extended
family cenderung berubah
ke arah
nuclear
family. Industrialisasi merupakan
sebab utama perubahan
dari
bentuk lama extended family itu kepada bentuk
baru nuclear family.
Ada tiga alasan
yang menyebabkan perubahan
tersebut, yaitu
sebagai berikut.
a. Industrialisasi menyebabkan nuclear
family menjadi lebih
bersifat dinamis, mudah berpindah dari satu tempat ke
tempat
yang
lain. Keluarga tidak
lagi terikat oleh
sebidang tanah
untuk penghidupannya, melainkan mereka akan berpindah
ke
tempat di mana
ada pekerjaan. Mobilitas
keluarga ini akan
melemahkan ikatan kekerabatan dalam extended
family,
b.
Industrialisasi dapat mempercepat emansipasi wanita, karena
memungkinkan wanita untuk mendapatkan pekerjaan di
luar
rumah tangga. Emansipasi ini menyebabkan lemahnya
fungsi-
fungsi
extended family di
satu sisi, dan
memperkuat fungsi
nuclear family
di sisi lain, dan
c.
Industrialisasi telah menimbulkan
corak kehidupan ekonomi
baru
dalam masyarakat. Dalam
masyarakat agraris, semua
anggota
keluarga baik itu
anak-anak, wanita, para
orang tua
dapat
turut serta dalam
proses produksi pertanian. Extended
family memberikan
keuntungan ekonomi. Dalam
masyarkat
industri, anak-anak, orang tua, orang cacat, tidak
dapat turut
serta dalam proses produksi di pabrik. Mereka justru
menjadi
beban keluarga.
Nuclear
family merupakan
kelompok primer. Kelompok
primer
ialah kelompok kecil
yang ciri-cirinya antara
lain adalah
hubungan antaranggotanya intim, kooperatif, dan
biasanya face to
face, masing-masing anggota
memperlakukan anggota yang
lain
sebagai tujuan bukannya sebagai alat untuk mencapai
tujuan.
Keluarga merupakan suatu sistem jaringan interaksi
pribadi.
Keluarga
berperan menciptakan persahabatan, kecintaan, rasa
aman,
hubungan antarpribadi yang
bersifat kontinu; semua
itu
merupakan dasar-dasar bagi perkembangan kepribadian
anak.
Sebagai kelompok primer, keluarga berpengaruh besar
terha-
dap anggota-anggotanya, karena,
a. Keluarga
memberikan kesempatan yang unik kepada anggota-
nya untuk menyadari
dan memperkuat nilai
kepribadiannya.
|
27
|
|
Dalam
keluarga individu memperoleh
kebebasan yang luas
untuk menampakkan kepribadiannya. Kesempatan ini
sangat
penting bagi sosialisasi
anak karena dengan
cara demikian
individu membangun harga dirinya.
b. Keluarga mengatur dan
menjadi perantara hubungan anggota-
anggotanya dengan dunia
luar. Dalam hubungan
tersebut
dapat dibedakan menjadi dua macam corak keluarga, yaitu,
1) Keluarga terbuka, yaitu
keluarga yang mendorong anggo-
ta-anggotanya untuk bergaul
dengan masyarakat luas.
Anak bebas bergaul
dengan teman-temannya. Ayah
dan
ibu mempunyai banyak
kenalan. Keluarga terbuka
bagi
tamu. Anggota keluarga
mempunyai perhatian terhadap
masalah-masalah kemasyarakatan. Keluarga
yang bersifat
terbuka lebih sedikit
mengalami ketegangan-ketegangan
daripada keluarga yang bersifat tertutup, sebab pergaulan
dengan dunia luar itu
dapat menghilangkan atau
mengu-
rangi beban-beban emosional.
2) Keluarga tertutup, yaitu
keluarga yang menutup diri terha-
dap hubungan dengan dunia luar. Keluarga yang tertutup
menghadapi orang luar
dengan kecurigaan. Hubungan
sosial yang intim,
kecintaan, afeksi, terbatas
dalam ling-
kungan keluarga sendiri.
Karena tekanan-tekanan batin
tidak dapat disalurkan keluar
dalam hubungan sosial
dengan dunia luar,
maka kemarahan, kekecewaan
ditum-
pahkan kepada keluarga
sendiri. Akan tetapi
keluarga
yang tertutup lebih intim.
3.
Sosialisasi dalam Keluarga
Dari pembahasan di
atas dapat diketahui,
bahwa keluarga
merupakan institusi yang
paling penting pengaruhnya
terhadap
proses sosialisasi individu
atau seseorang.
Kondisi-kondisi yang menyebabkan pentingnya peranan
keluarga dalam proses sosialisasi anak, ialah:
a. Keluarga merupakan
kelompok kecil yang
anggota-anggota-
nya berinteraksi face to face secara tetap. Dalam kelompok yang
demikian perkembangan anak
dapat diikuti dengan
seksama
oleh orang tuanya
dan penyesuaian secara
pribadi dalam
hubungan sosial lebih mudah terjadi.
|
b.
Orang tua mempunyai
motivasi yang kuat
untuk mendidik
anak
karena merupakan buah
cinta kasih hubungan
suami
isteri.
Anak merupakan perluasan
biologis dan sosial
orang
tuanya.
Motivasi kuat ini
melahirkan hubungan emosional
antara orang tua dengan anak. Penelitian-penelitian
membuk-
tikan
bahwa hubungan emosional
lebih berarti dan
efektif
daripada hubungan intelektual dalam proses
sosialisasi.
c. Oleh karena
hubungan sosial di
dalam keluarga itu
bersifat
relatif
tetap, maka orang
tua memainkan peranan
sangat
penting terhadap proses sosialisasi anak.
Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama yang
memberi-
kan pendidikan kepada individu secara lahir maupun
batin untuk
tumbuh
dan berkembang hingga
sang anak menginjak
dewasa.
Dalam hal ini beberapa aspek tujuan sosialisasi yang
dilaksanakan
oleh
keluarga untuk masyarakat modern
seperti mengajarkan
bermacam-macam
keterampilan, telah diambil
alih oleh lembaga
sekolah atau institusi sosial yang lain.
Tujuan Sosialisasi dalam Keluarga
Secara
mendasar terdapat tiga
tujuan sosialisasi di
dalam
keluarga, yakni sebagai berikut.
a.
Penguasaan diri
Masyarakat
menuntut penguasaan diri
pada anggota-anggo-
tanya. Proses mengajar anak untuk menguasai diri ini
dimulai
pada waktu orang tua melatih anak untuk memelihara
keber-
sihan
dirinya. Ini merupakan
tuntutan sosial pertama
yang
dialami
oleh anak untuk
latihan penguasaan diri.
Tuntutan
penguasaan
diri ini berkembang, dari
yang bersifat fisik
kepada penguasaan diri secara emosional. Anak harus
belajar
menahan
kemarahannya terhadap orang
tua atau saudara-
saudaranya.
Tuntutan sosial yang
menuntut agar anak
menguasai diri merupakan pelajaran yang berat bagi
anak.
b.
Nilai-nilai
Bersama-sama
dengan proses berlatih
penguasaan diri ini
kepada anak diajarkan nilai-nilai.
Penelitian-penelitian menun-
jukkan bahwa nilai-nilai dasar dalam diri seseorang
terbentuk
pada usia enam tahun. Di dalam perkembangan usia
tersebut
keluarga
memegang peranan terpenting
dalam menanamkan
|
28
|
|
nilai-nilai. Sebagai
contoh melatih anak
menguasai diri agar
permainannya dapat dpinjamkan
kepada temannya, maka
di
situ dapat muncul
suatu makna tentang
arti dari kerja
sama.
Mengajarkan anak menguasai
diri agar tidak
bermain-main
dahulu sebelum menyelesaikan pekerjaan rumahnya, maka di
situ mengandung ajaran tentang nilai sukses dalam pekerjaan.
c. Peran-peran sosial
Mempelajari peran-peran sosial
ini terjadi melalui
interaksi
sosial dalam keluarga.
Setelah dalam diri
anak berkembang
kesadaran diri sendiri
yang membedakan dirinya
dengan
orang lain, dia
mulai mempelajari peranan-peranan sosial
yang sesuai dengan
gambaran tentang dirinya.
Dia mempe-
lajari peranannya sebagai anak, sebagai saudara (kakak/adik),
sebagai laki-laki/perempuan, dan sebagainya. Proses mempe-
lajari peran-peran sosial
ini kemudian dilanjutkan di
lingkungan kelompok sebaya, sekolah, perkumpulan-perkum-
pulan dan lain sebagainya.
Ciri yang Melekat pada Keluarga
Keluarga merupakan lingkup
kehidupan yang paling berpe-
ngaruh terhadap perjalanan seorang
individu, maka peran
keluarga dalam hubungan
sosialisasi anak juga
dipengaruhi oleh
ciri yang melekat di dalam keluarga tersebut. Anak yang tumbuh
kembang menjadi seorang
pribadi yang utuh
merupakan
cerminan dari hubungan
antara kedua aspek
tersebut. Ciri yang
melekat pada keluarga
itu dapat di
bagi menjadi dua
yakni
sebagai berikut.
a. Aspek Internal (Corak
Hubungan antara Orang Tua dan Anak)
Para ahli sepakat bahwa cara meresepnya nilai-nilai sosial ke
dalam diri individu
dalam awal perkembangan kepribadiannya
diperoleh melalui hubungan-hubungannya dengan
manusia-
manusia dewasa, khususnya
orang tua. Nilai-nilai dan
pola
tingkah laku diinternalisasikan ke
dalam diri anak
hanya bisa
tercakup dalam konteks
hubungan yang intensif,
melibatkan
partisipasi lahir maupun batin, face to face dan kontinu. Dalam
hal
ini tentunya corak
hubungan yang mampu
memproduk pribadi
seorang individu satu-satunya diperankan oleh lembaga keluarga.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fels Research Institute,
|
pola
hubungan orang tua-anak
dapat dibedakan menjadi
tiga
yaitu,
1) Pola menerima-menolak, pola
ini didasarkan atas
taraf
kemesraan orang tua terhadap anak,
2) Pola memiliki-melepaskan, pola
ini didasarkan atas
seberapa
besar
sikap protektif orang
tua terhadap anak.
Pola ini ber-
gerak
dari sikap orang
tua yang overprotektif dan
memiliki
anak sampai kepada sikap mengabaikan anak sama
sekali, dan
3) Pola demokrasi-otokrasi, pola
ini didasarkan atas
taraf parti-
sipasi
anak dalam menentukan kegiatan-kegiatan dalam
keluarga.
Pola otokrasi berarti
orang tua bertindak
sebagai
diktator
terhadap anak, sedangkan
pola demokrasi, sampai
batas-batas
tertentu dapat melibatkan
partisipasi anak untuk
menentukan keputusan-keputusan keluarga.
Anak
yang dibesarkan dalam
keluarga yang bersuasana
demokratis, memiliki karakter
perkembangan yang luwes
dan
dapat menerima kekuasaan secara rasional. Sebaliknya
anak yang
dibesarkan
dalam suasana keluarga
otoriter, memandang ke-
kuasaan
sebagai sesuatu yang
harus ditakuti dan
bersifat sakral.
Tentu
saja akibat pola-pola
hubungan antaranggota keluarga
tersebut dapat membentuk suatu wujud
kepribadian-kepribadian
tertentu
kepada sang anak.
Dalam pola otoriter
misalnya, anak
akan
berkembang menjadi individu
yang penakut atau
tunduk
kepada
peraturan secara membabi
buta, bahkan jika
hal itu
mengisahkan
suatu tragedi maka
sang anak akan
menjadi
manusia patologis yang selalu menentang kekuasaan.
b. Aspek
Sosial
Aspek
ini menyangkut status
sosial yang dimiliki
oleh
keluarga tersebut di dalam struktur dan status
kehidupan masya-
rakatnya. Secara internal hubungan
orang tua yang menyandang
status pekerjaan
dan kedudukan sosial
tertentu di dalam
masyarakatnya
dapat juga mempengaruhi karakter
kepribadian
dalam
mendidik anak. Menurut
penelitian yang dilakukan
oleh
Universitas Chicago sekitar tahun 1940-an menyimpulkan
bahwa
keluarga
kelas sosial menengah
kurang menerapkan hukuman
badan,
lebih mendorong tercapainya
prestasi, dan memberikan
tanggung jawab secara leluasa dan bebas kepada sang
anak.
|
29
|
|
Latar
belakang perilaku dan pola-pola
tindakan yang diterapkan
oleh orang tua
dalam menerapkan metode
interaksi pendidikan
terhadap sang anak ternyata juga merupakan hasil pengaruh dari
kelas sosial yang dimiliki oleh keluarga. Salah satu alasan penting
yang menimbulkan perbedaan itu adalah alasan ekonomi.
1) Keluarga kelas sosial bawah
umumnya memiliki banyak anak,
penghasilan kecil, hidup
di dalam rumah
yang penuh sesak.
Dalam kondisi demikian
anak dituntut untuk
patuh, tidak
boleh ribut, tidak
boleh terlalu berinisiatif agar
tidak
menimbulkan banyak resiko
bagi keluarga. Sebaliknya
keluarga kecil, keadaan
ekonominya lebih baik;
keluarga
demikian memberi kesempatan
kepada anak untuk
memiliki
inisiatif, apresiasi dan kreativitas yang cukup tinggi.
2) Orang tua
dari kelas bawah
memiliki kedudukan pekerjaan
yang rendah. Sebagai bawahan mereka terbiasa bersikap patuh
dan tunduk pada
atasannya. Sikap ini
secara tidak sadar
terpancar dalam proses mendidik anak-anaknya di rumah.
E. Hubungan
Timbal Balik Sekolah - Keluarga Bagi Individu
1. Pergaulan
dalam Keluarga
Pada umumnya, keluarga
terdiri dari ayah,
ibu dan anak di
mana masing-masing anggota
keluarga tersebut saling
mempe-
ngaruhi, saling membutuhkan, semua mengembangkan hubungan
intensif antaranggota keluarga.
Anak membutuhkan pakaian,
makanan dan bimbingan
dari orang tua
dan orang tua
mem-
butuhkan rasa kebahagiaan
dengan kelahiran anak.
Ketika anak
tumbuh dewasa maka
dibutuhkan tenaga dan
pikirannya untuk
|
membantu orang
tua, lebih-lebih bila
orang tua
berdaya karena usia yang sudah lanjut.
|
makin
tidak
|
Orang
tua mempunyai peranan
pertama dan utama
bagi
anak-anaknya
selama anak belum
dewasa dan mampu
berdiri
sendiri.
Untuk membawa anak
kepada kedewasaan, maka
orang
tua harus memberi
teladan yang baik
karena anak suka
mengi-
mitasi kepada orang yang lebih tua atau orang tuanya.
Dengan
lingkungan pergaulan antara
orang tua terhadap
anak dan anak
itu sendiri dengan
anggota keluarga yang
lain
maka sang anak telah dihadapkan pada suatu kehidupan
interak-
tif yang telah
membekalinya
kemampuan-kemampuan dasar
untuk bertahan hidup baik dari segi fisik maupun
nonfisiknya.
|
2.
Pergaulan Di Dalam Sekolah
Sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal,
terdiri dari
pendidik
dan anak didik.
Antara mereka telah
terjadi hubungan
yang
berlapis-lapis, baik antara
murid dengan guru,
murid
dengan sesama murid serta murid dengan warga sekolah
lainnya.
Guru-guru
sebagai pendidik, dengan
wibawanya dalam
pergaulan
membawa murid sebagai
anak didik ke
arah kede-
wasaan.
Memanfaatkan pergaulan sehari-hari dalam pendidikan
adalah
cara yang paling
baik dan efektif
dalam pembentukan
pribadi dan dengan cara ini pula maka hilanglah
jurang pemisah
antara guru dan anak didik.
Hubungan
murid dengan murid
juga menunjukkan suasana
yang
edukatif. Sesama murid
saling berkawan, berolahraga
bersama
dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku, saling
mengajak
dan diajak, saling
bercerita, saling mendisiplinkan diri
agar tidak menyinggung perasaan teman sepergaulannya.
Dalam
lingkungan sekolah seorang
individu dihadapkan
pula pada pola
orientasi kehidupan yang
lebih luas. Di
mana
perangkat-perangkat
aktivitas tersebut tidak
dia temui di
dalam
keluarga.
Secara prinsipiil melihat
sekolah sebagai ruang
terorganisasi yang di dalamnya terdapat peran-peran
yang cukup
kompleks
maka seluruh siswa
telah balajar mengenal
orientasi
kehidupan
menuju pembelajaran dan
persiapan untuk menyan-
dang status orang-orang dewasa.
Sekolah
merupakan miniatur masyarakat yang
memiliki
peran-peran
yang cukup rumit
dan menerapkan pola-pola
peraturan
yang lebih ketat.
Tempat di mana
proses pengajaran
keterampilan
dan macam-macam standar
pengetahuan akan di-
serap dan dipahami
oleh siswa untuk
memainkan peran kehi-
dupannya pada jenjang kedewasaannya.
3. Pengaruh Keluarga-Sekolah Terhadap Individu
Proses
sosialisasi individu mengidentifikasi dirinya
sesuai
dengan perkembangan fisik dan emosinya untuk
diarahkan pada
hubungan
keselarasan dengan lingkungan
eksternalnya. Pende-
katan-pendekatan yang dikembangkan oleh ahli-ahli
ilmu sosial di
atas
sudah cukup menjelaskan
bahwa hasil terbentuknya kepri-
badian merupakan hasil perwujudan dari dunia luar.
|
30
|
|
Seiring dengan
perkembangan fisik biologisnya individu
mendapat perlakuan yang sangat intensif untuk mengembangkan
fungsi-fungsi fisik serta
kemampuan-kemampuan mental etis
yang paling mendasar dari keluarga. Melalui segala aktivitas yang
tercakup dalam lingkungan
keluarga selain individu
menyesuai-
kan perkembangan fisik sesuai dengan
perjalanan usianya, maka
tiap fase-fase usia
yang dilalui individu
telah mendapat bekal-
bekal mendasar untuk mengembangkannya setelah ia benar-benar
merasa memiliki kepribadian secara dewasa.
Selain dari keluarga, dalam perkembangan umur dan mental-
nya individu mendapat
pengaruh dari sekolah
dan dari masya-
rakat. Wujud dari
pengaruh timbal balik
antara sekolah dengan
keluarga dalam suatu
masyarakat terhadap individu
dapat
digambarkan dalam ilustrasi berikut.
|
Masyarakat
|
Sekolah
|
Keluarga
3
|
2
|
1
I N D I V I D U
|
Dalam perkembangan yang lebih lanjut
ketika sang individu
sudah cukup memiliki kemampuan untuk melangsungkan aktivi-
tas-aktivitas mendasar sebagai
manusia. Ia lalu
memasuki suatu
wilayah kehidupan luar
dari keluarganya. Lingkungan
itu tidak
lain adalah sekolah. Di dalam sekolah perkembangan kemampuan
tidak terbatas pada akomodasi kemampuan-kemampuan menda-
sar semata. Namun
di situ juga
telah terbina suatu
ruang
sosialisasi yang lebih
luas dengan memiliki
perangkat-perangkat
yang cukup lengkap. Peraturan, keterampilan, ilmu pengetahuan,
kebudayaan masyarakat, seni
dan estetika, penempaan
spiritual,
serta wadah kreasi-kreasi yang lebih komplek adalah aspek-aspek
khusus yang dimiliki
oleh sekolah dalam
menjalankan proses
sosialisasi kepada individu.
Kedua lembaga sosial
tersebut selalu beriringan mengisi
setiap waktu kehidupan
individu dalam aktivitas
kesehariannya
dengan spesifikasi yang
berbeda-beda. Keluarga bertugas
menja-
lankan sosialisasi nilai-nilai dasar
kemanusiaan dalam pola
hubungan yang afektif.
Sementara sekolah lebih
menekankan
pada proses pembelajaran, pengajaran
serta penempaan kepada
individu yang berisi
tentang ilmu pengetahuan, keterampilan,
serta
penguasaan-penguasaan
peran-peran sosial yang
lebih luas
di luar keluarga.
Kedua peran pembentukan
tersebut lalu mem-
bentuk peran individu
dalam masyarakat tempat
atau wilayah
dimana individu itu
berada, baik dalam
skala mikro maupun
makro.
|
Keterangan:
|
1.
2.
3.
|
Anak sebagai individu
Anak sebagai murid sekolah
Anak sebagai anggota keluarga
Gambar 4
Skema Hubungan Sekolah-Keluarga dalam Sosialisasi
Individu
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar