Liana Arum Purwitasari

tanpa tanda jasa
SELAMAT DATANG DI BLOG LIANA ARUM PURWITASARI

Rabu, 25 Januari 2012

KEGIATAN BELAJAR 1 TEMBANG DAN SELUK BELUKNYA


KEGIATAN BELAJAR 1
TEMBANG DAN SELUK BELUKNYA

A. Kompetensi dan Indikator
Materi ajar tembang ini cukup representatif untuk melatih empat keterampilan berbahasa. Keterampilan membaca, jelas diperoleh melalui pembacaan khas gaya tembang maupun pembacaan berbagai wacana yang berkaitan dengan materi yang dibahas. Keterampilan menulis bisa didapat melalui pembuatan tembang dan penulisan parafrase dari tembang yang dibahas. Keterampilan menyimak didapat dengan memperhatikan contoh yang disampaikan oleh guru baik secara langsung maupun melalui media. Sedangkan keterampilan berbicara bisa dilatih melalui diskusi kelompok atau klasikal ketika membuat sebuah tembang atau memarafrasekan sebuah tembang.
Beberapa kompetensi dan indikator yang bisa dikembangkan dari pengajaran tembang ini di antaranya: peserta didik mampu melantunkan tembang, memarafrasekan tembang dan membuat tembang.

B. Uraian Materi
Pertama yang harus dilakukan guru adalah persiapan yang matang dengan pengetahuan mendalam tentang tembang. Pengetahuan ini meliputi pengertian tembang, macam dan kaidah tembang, satuan tembang, sifat tembang, fungsi tembang, bahasa tembang dan nada tembang. Setelah pengetahuan ini diperoleh, guru dengan leluasa bisa mengembangkan metode mengajar demi tercapainya indikator, baik melantunkan tembang, memarafrasekan tembang maupun membuat tembang.
Selanjutnya, pemilihan bahan menjadi prakegiatan belajar-mengajar yang cukup menentukan. Pemilihan bahan diusahakan memenuhi tiga pertimbangan: tingkat penguasaan bahasa, tingkat psikologis dan latar belakang budaya peserta didik.
           
1. Pengertian Tembang
Tembang adalah karya sastra berujud rangkaian kata dengan aturan tertentu dan cara membacanya dilagukan dengan suara atau dengan lagu tertentu.

2. Macam Tembang
            Sejauh penelusuran yang dilakukan oleh para ahli, di Jawa pernah hidup beberapa jenis tembang yang masih bisa dilacak jejak-jejak keberadaannya.         

a. Tembang Kawi (kakawin)
            Kakawin adalah karya sastra puisi pada jaman sastra Jawa Kuna. Oleh karena itu menggunakan media bahasa Jawa Kuna atau disebut juga bahasa Kawi. Jenis karya sastra ini tergolong tembang karena memiliki aturan tertentu, serta pembacaannya menggunakan lagu. Adapun aturan penyusunannya adalah:
1) satu bait terdiri dari empat baris,
2) jumlah suku kata tiap baris sama,
3) pola metrum tiap baris sama,
4) berbahasa Jawa Kuna.
Perpaduan aturan kedua dan keempat menghasilkan metrum (nama-nama) tembang. Beberapa contoh metrum (nama) tembang kakawin:

-         Asambhada
-         Kuwalayakusuma
-         Kumudasara
-         Wrsabhagatiwilasita
-         Sagaralangö
-         Basantatilaka


            Tradisi pembacaan kakawin dengan lagu khusus, meskipun di Jawa sendiri sudah tidak ada, tetapi di Bali masih terus berlangsung hingga kini. Tradisi itu disebut dengan makakawin. Kakawin tertua yang ditemukan adalah Kakawin Ramayana yang diperkirakan dibuat pada masa pemerintahan Dyah Balitung (820-832 Saka). Tradisi penulisan kakawin masih berlanjut hingga kini di Bali, meskipun hanya sebatas penyalinan dari lontar-lontar kuna. Beberapa contoh karya sastra yang berbentuk kakawin: kakawin Ramayana yang tidak diketahui pengarangnya; kakawin Arjunawiwaha karya Kanwa; kakawin Gatotkacasraya karya Panuluh; kakawin Bharatayuddha karya Sedah dan Panuluh; kakawin Nagarakrtagama karya Prapanca.

b. Tembang Gedhe
            Kesusatraan jaman Surakarta, oleh Poerbatjaraka disebut sebagai jaman pembangunan dan juga jaman pembuatan karya-karya baru. Pada masa ini banyak sekali karya sastra Jawa Kuna yang digubah ulang dalam bahasa Jawa Baru. Gubahan itu menghasilkan bentuk karya sastra yang baru pula. Salah satunya adalah tembang gedhe atau sekar ageng. Bentuk ini merupakan derivasi dari kakawin, oleh karena itu beberapa aturan kakawin masih terlihat, yaitu jumlah baris dan jumlah suku kata tiap baris. Selengkapnya aturan dalam penggubahan tembang gedhe ini adalah:
1) setiap satu bait (sapada) terdiri dari empat baris atau empat pada pala,
2) setiap dua pada pala disebut satu pada dirga,
3) empat pada pala disebut satu padeswara,
4) jumlah suku kata setiap pada pala sama, dikenal sebagai laku atau lampah.
Berdasarkan jumlah suku kata setiap pada pala atau satu laku, tembang gedhe dibagi menjadi empat:
1) 10 suku kata atau kurang disebut salisir,
2) 11 sampai 20 suku kata disebut siliran atau siriran,
3) 21 sampai 30 suku kata disebut raketan,
4) 31 suku kata atau lebih disebut dhendha atau simparan.
Beberapa contoh tembang gedhe:

-         Sudirawicitra
-         Maduretna
-         Merak nguwuh
-         Kuswarini
-         Candrakusuma
-         Manggalagita
-         Pamularsih
-         Sikarini
-         Kuswaraga


Sampai saat ini tembang gedhe masih sering dilagukan. Jenis tembang ini tidak asing bagi para praktisi karawitan, karena banyak di antaranya digunakan sebagai cakepan bawa maupun gerongan.
c. Tembang Tengahan
            Tembang tengahan merupakan turunan dari bentuk karya sastra Jawa Tengahan yang bernama Kidung. Bentuk karya sastra ini timbul pada jaman Majapahit, kemudian tradisi penulisannya dilanjutkan di Bali. Kidung sendiri tidak dimasukkan dalam golongan tembang karena tidak dapat dilacak jejak-jejak penggunaan lagu dalam pembacaannya. Sedangkan tembang tengahan masih dapat didengarkan pelantunannya, karena memiliki fungsi yang sama dengan tembang gedhe dalam dunia karawitan. Penggubahan tembang tengahan adalah ditentukan oleh:
1) jumlah gatra (baris) setiap pada (baris),
2) jumlah suku kata setiap gatra atau setiap pada lingsa (baris), disebut guru wilangan,
3) suara vokal setiap akhir gatra (baris), disebut guru wilangan.
Beberapa contoh metrum tembang tengahan:

-         Balabak
-         Wirangrong
-         Juru demung
-         Dudukwuluh
-         Gambuh
-         Lontang
-         Palugon

             
d. Tembang Dhagelan
            Tembang dhagelan dulu berdiri sebagai jenis tembang tersendiri. Pada perkembangannya tembang ini hanya merupakan varian dari tembang tengahan. Bahkan sekarang tidak dibedakan lagi dari tembang tengahan. Contoh tembang dhagelan adalah tembang balabak.

e. Tembang Macapat
Tembang macapat disebut juga tembang cilik. Jenis tembang ini mulai terkenal sejak jaman Surakarta awal. Banyak karya sastra jaman Surakarta yang digubah dalam bentuk tembang macapat. Satu karya sastra jaman Surakarta yang sangat terkenal yang digubah dalam bentuk tembang macapat adalah Serat Rama, gubahan Yasadipura.  Penggubahan tembang macapat didasari oleh:
1) guru gatra: jumlah gatra (baris) setiap bait (pada)
2) guru lagu: suara vokal setiap akhir gatra
3) guru wilangan: jumlah suku kata setiap gatra (baris)
Nama-nama tembang macapat adalah:

-         Asmaradana
-         Dhandhanggula
-         Durma
-         Kinanthi
-         Maskumambang
-         Mijil
-         Pangkur
-         Pucung
-         Sinom


            Dari lima jenis tembang tersebut, saat ini di Jawa hanya tinggal dikenal tiga: tembang gedhe; tembang tengahan dan tembang macapat.

3. Membuat Tembang
Salah satu indikator yang bisa dikembangkan adalah kemampuan siswa membuat tembang. Tentu harus didahului kemampuan guru dalam hal serupa. Sebelum memulai, Guru bisa menengok kembali pendapat  Rahmanto tentang tiga rambu-rambu yang layak dipertimbangkan. Pertama, bahasa yang sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa peserta didik. Kedua, bahan sastra juga harus disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan psikologis peserta didik. Seperti telah diketahui bahwa peserta didik tingkat sekolah menengah (usia 13-16 tahun) berada pada tahap realistik, di mana anak telah terlepas dari dunia fantasi dan sangat berminat pada realitas. Anak-anak pada usia ini senang sekali menganalisa fakta-fakta kehidupan. Ketiga, pertimbangkan pula latar belakang budaya. Peserta didik tentu akan lebih tertarik pada bahan-bahan yang dekat dengan latar belakang budayanya. Sehingga bahan-bahan yang akan diajarkan sebaiknya diusahakan sesuai dengan latar belakang budaya peserta didik.
Dari pertimbangan atas tiga hal di atas maka akan didapat tembang yang menggunakan bahasa sederhana sesuai tingkat penguasaan bahasa peserta didik; isinya sesuai dengan taraf psikologi serta latar belakang budaya peserta didik.
Di antara tiga jenis tembang yang masih sangat akrab bagi orang Jawa, tembang macapat-lah yang masih sering digunakan sebagai media penuangan gagasan dan isi hati, sehingga  masih banyak bermunculan tembang macapat dengan kata-kata baru yang disesuaikan dengan maksud dan keperluannya. Dua jenis tembang yang lain, tembang gedhe dan tembang tengahan, hanya tinggal kita terima apa adanya, tidak ada lagi gubahan baru.
Berdasarkan pertimbangan di atas, pembuatan tembang ini diarahkan pada pembuatan tembang macapat. Setelah guru memahami tiga rambu Rahmanto di atas, maka yang harus dipahami berikutnya adalah aturan tembang macapat: guru gatra, guru lagu dan guru wilangan. Setelah itu tentukan tema yang akan diangkat, dilanjutkan dengan perangkaian kata-kata sehingga memenuhi aturan tembang macapat. Hasil akhirnya adalah bait tembang macapat dengan kata-kata yang dapat dipahami oleh peserta didik.

4. Membaca Tembang
Cara membaca karya tembang tentu saja dengan dilagukan. Persoalan ini yang sering menjadi momok bagi para guru. Sebenarnya cukup banyak guru yang mampu melantunkan tembang macapat, tetapi kadang-kadang merasa tidak percaya diri karena merasa nadanya kurang pas padahal tidak tersedia alat bantu gamelan.
Pada dasarnya membaca tembang adalah melantunkan nada, khususnya nada gamelan. Permasalahan lain, tidak semua peserta didik memiliki latar belakang budaya gamelan, sehingga tidak banyak pula yang memiliki referen nada gamelan. Kondisi ini tidak perlu dirisaukan. Guru bisa menggunakan nada-nada piano dengan cara men-transpos nada gamelan ke nada-nada piano, seperti contoh di bawah ini:

Slendro sanga
1
2
3
5
6
1
Nada piano
do
re
mi
sol
la
do


Slendro manyura
2
3
5
6
1

2
Nada piano
Do
re
Mi
sol
la

do

Pelog nem
1
2
3

5
6

Nada piano
mi
fa
sol

si
do


Pelog Barang
 
2
3

5
6
7
Nada piano

fis
sol

si
do
re

 Tentu saja transpos nada ini hanyalah langkah mudah untuk menggali potensi nada yang dimiliki peserta didik. Pengenalan nada gamelan sesungguhnya tetap harus dilakukan, mengingat nada-nada gamelan memiliki kekhasan yang tidak dimiliki nada-nada lain.

5. Memarafrase Tembang
            Selayaknya sebuah puisi, tembang penuh dengan permainan kata. Cukup banyak materi tembang yang bisa diambil dari kitab-kitab lama maupun majalah-majalah berbahasa Jawa, tetapi kendalanya adalah bahasa yang kadang-kadang sulit dimengerti, karena tidak fungsional. Munculnya bahasa arkhais, dasa nama, variasi bunyi dan lain-lain yang menyebabkan sulitnya pemahaman bahasa ini memang hal yang biasa dalam tembang, demi kepentingan terpenuhinya kaidah-kaidah metrum. Pada pembelajaran tingkat lanjut, peserta didik tetap diperkenalkan pada sastra-sastra lama sebagai sumber penggalian nilai-nilai budi pekerti.
            Masalah yang muncul berikutnya adalah bagaimana memarafrasekan sebuah tembang. Pertama yang harus dipersiapkan adalah kamus Bahasa Jawa. Setelah tersedia kamus, kemudian cermatilah petunjuk di bawah ini:
1) kalimat-kalimat atau frasa-frasa yang menggunakan aturan baliswara (inversi) harus dibalik dulu, sehingga menjadi kalimat atau frase yang wajar,
2) jika terdapat kata-kata arkhais, harus dicari padanannya dalam kamus,
3) jika ada kata majemuk atau kata yang mengandung sandi dalam pembentukannya, harus diurai terlebih dahulu,
4) untuk menyelaraskan kalimat hasil parafrase, kadang-kadang boleh membuang atau menambahi kata-kata tertentu,
5) demikian pula dengan imbuhan, kadang-kadang bisa ditambah atau dikurangi,
6) kadang-kadang untuk mengerti maksud sebait tembang, diperlukan parafrase bait di bawahnya atau di atasnya, tidak cukup hanya memarafrase sebait saja.

6 komentar: