BAB III
KEGIATAN BELAJAR 2
WAYANG DAN SELUK-BELUKNYA
A. Kompetensi Dan Indikator
Wayang sebagai mata ajar dapat dibedakan menjadi dua: sebagai bentuk seni pertunjukan serta wayang sebagai pengetahuan sastra dan budaya. Kompetensi dan indikator yang bisa dikembangkan dari mata ajar wayang ini adalah kemampuan membaca, menyimak, menulis, serta berbicara. Kemampuan membaca dapat dikembangkan melalui pembacaan cerita-cerita wayang; keterampilan menyimak bisa dikembangkan dengan melihat pertunjukan wayang baik pertunjukan langsung maupun dengan menggunakan media. Keterampilan manulis dan berbicara, erat kaitannya dengan membaca dan menyimak. Kemampuan ini bisa dikembangkan dengan penugasan-penugasan seusai melihat pertunjukan wayang. Di samping kemampuan terukur seperti tersebut di atas, mata ajar wayang ini sangat potensial untuk media penanaman budi pekerti peserta didik, karena banyak sekali teladan-teladan hidup yang bisa digali dari cerita-cerita wayang.
B. Uraian Materi
Materi yang bisa dikembangkan dalam pembelajaran wayang sangat banyak, untuk itu perlu adanya pembatasan agar capaian hasilnya maksimal. Beberapa pokok bahasan di bawah ini adalah beberapa dari sekian banyak hal tentang wayang.
1. Wayang dalam Karya Sastra Lama
Wayang telah ada sejak Jaman Airlangga. Sumber sejarah yang sering dikutip untuk membenarkan pendapat ini adalah Kakawin Arjunawiwāha – pupuh V: Sikarini, bait 9 – yang ditulis antara tahun 1028 sampai 1035 Masehi (masa pemerintahan Raja Airlangga di Jawa Timur adalah tahun 1019-1042) yang mengatakan bahwa pada saat itu sudah ada pertunjukan wayang dengan wayang yang terbuat dari kulit yang dipahat:
anânonton ringgit manangis asĕkĕl mudha hiděpan
huwus wruh towin yan walulang inukir molah angucap
atur ning wwang tŗşņêng wişaya malahā tan wihikanhina
ri tattwanya-n māyā sahana-hana ning bhāwa siluman.
(Arjunawiwāha, V: 9) (Wiryamartana, 1990: 81).
Terjemahan:
Ada orang menonton wayang, menangis, sedih, kacau hatinya.
Telah tahu pula, bahwa kulit yang dipahatlah yang bergerak dan bercakap itu.
Begitulah rupanya orang yang lekat akan sasaran indera, melongo saja, sampai tak tahu,
bahwa pada hakikatnya mayalah segala yang ada, sulapan belaka (Wiryamartana, 1990: 134).
Kitab Arjunawiwāha ini telah menyebut wayang yang terbuat dari walulang inukir. Di samping kakawin Arjunawiwāha, istilah walulang inukir juga terdapat dalam kitab Tantu Panggelaran yang ditulis pada tahun 1557, sebuah kitab prosa berbahasa Jawa Pertengahan, bahasa yang berkembang pada jaman Majapahit:
Rěp sakşaņa bhaţāra Içwara Brahmā-Wişņu umawara panadah bhaţāra Kālarūdrā; tumurun maring madyapada hawayang sira, umucapakĕn tatwa bhaţāra mwang bhaţāri ring bhūwana. Mapanggung maklir sira, walulang hinukir maka wayangnira, kinudangan panjang langon-langon. Bhaţāra Hiçwara sira hudipan, rinaksa sira de hyang Brahmā Wişņu. Mider sira ring bhuwana masanggina hawayang, tinhěr habaņdagiņa hawayang; mangkana mula kacaritanya ngunī (Nurhajarini, 1999: 48).
Terjemahan:
Seketika Bhaţāra Içwara, Brahmā dan Wişņu segera menghalangi (melindungi) makanan Bhaţāra Kālarūdrā. Dia turun ke dunia mempertunjukkan / mempergelarkan wayang, menceritakan kesejatian Bhaţāra - Bhaţāri di bumi. Dia berpanggung tabir (kělir), kulit diukir sebagai wayangnya, diberi nama-nama (dibuat penokohan), dilagukan dengan indah mempesona. Bhaţāra Içwara sebagai dalang, dijaga oleh hyang Brahmā Wişņu. Berkelilinglah mereka di buana mempergelarkan keahliannya mewayang, kemudian membawa barang dagangan berupa keahlian mewayang, begitulah dahulu ceritanya (Nurhajarini, 1999: 113).
Dua kitab di atas telah mempertegas bahwa wayang yang terbuat dari kulit binatang yang diukir telah ada sejak jaman kebudayaan pra Islam. Adapun bentuk pertunjukan wayang kulit telah disebutkan dalam kakawin Bhāratayuddha yang digubah pada tahun 1157 Masehi:
Tekwan ri lwah ikang taluktakatarik sāksāt salunding wayang,
Pring bungbang muni kānginan manguluwung yekāntudungnyāngiring,
Gending strīnya pabandungi prasamaning kungkang karőngwing jurang,
Cenggeretnya walangkrikatri kamanak tanpāntara ngangsyani.
(Bhāratayuddha, L: 5) (Gunning, 1903: 103).
Terjemahan:
Lagi pula di sungai-sungai kicir-kicir berbunyi seperti gender wayang,
Bambu yang berlubang berbunyi tertiup angin berdengung-dengung itulah seruling pengiringnya,
Nyanyian waranggananya ialah suara bersama katak-katak yang terdengar dari dalam jurang,
Suara cenggeret dan belalang kerik riuh tak henti-henti seperti suara kemanak dan kangsi (Padmapuspita, 1976: 3).
Bait di atas memberikan gambaran tentang pertunjukan wayang yang diiringi dengan alat musik salunding; seruling; kemanak dan kangsi. Istilah salunding oleh Padmapuspita disamakan dengan slunding, yaitu komposisi instrumen pengiring wayang parwa – wayang kulit yang mementaskan lakon Mahābhārata – di Bali yang terdiri dari sepasang gender barung yang disebut pangumbang dan sepasang gender penerus yang disebut pangingsep. Untuk mengiringi wayang kulit Rāmāyaņa di Bali digunakan gamelan yang lebih lengkap, yaitu slunding ditambah lagi dengan beberapa instrumen. Dengan demikian apa yang tergambar dari kakawin Bhāratayuddha itu kemungkinan adalah wayang kulit Rāmāyaņa karena komposisi instrumen pengiringnya yang tidak hanya menggunakan slunding (Padmapuspita, 1976: 3-4).
2. Jenis-jenis Wayang
Selain wayang kulit purwa yang sekarang masih bisa dilihat penentasannya dan berkembang dengan sangat baik, di Jawa juga terdapat berbagai jenis wayang yang lain. Beberapa di antaranya adalah:
a. Wayang Beber
Bentuk wayangnya berupa gulungan-gulungan kertas berisi lukisan adegan-adegan penting dalam wayang. Pertunjukannya dilakukan dengan cara membuka gulungan lukisan-lukisan itu kemudian dalang menceritakan adegan-adegan yang terdapat di dalamnya. Ceritanya semula diambil dari kisah Mahabharata, tetapi kemudian beralih ke cerita Panji yang berasal dari kerajaan Jenggala. Saat ini jenis wayang ini telah punah, karena tidak ada lagi dalang yang mampu memainkannya. Beberapa lembar wayangnya masih tersimpan di Pacitan, Jawa Timur dan di Gunungkidul, Yogyakarta.
b. Wayang Demak (1518)
Wayang kulit kreasi para wali, yang merupakan stilisasi bentuk manusia. Wayang ini terbuat dari kulit dengan sunggingan mengikuti sunggingan wayang pada jaman Prabu Jayabaya. Wayang inilah yang dipercaya sebagai embrio wayang kulit yang kita kenal dewasa ini. Penciptaan wayang ini terjadi pada tahun 1518 Masehi atau 1440 Saka (sirna suci caturing dewa).
c. Wayang Keling (1518)
Wayang ini terdapat di Pekalongan. Bentuk wayang keling mirip dengan wayang kulit purwa, dengan perbedaan menonjol pada gelung sapit urang yang tidak sampai ubun-ubun. Saat ini wayang ini sudah punah, karena tidak ada pewarisnya.
d. Wayang Kidang Kencana
Bentuk wayang ini sama seperti wayang kulit biasa, hanya ukurannya saja diperkecil. Wayang ini diciptakan oleh Sinuwun Tunggul di Giri pada tahun 1556 Masehi atau 1478 Saka (salira dwija dadi raja).
e. Wayang Kulit Purwa Cirebonan
Bentuk wayang kulit yang serupa dengan wayang keling di Pekalongan, yakni gelung sapit urangnya tidak menyentuh ubun-ubun. Meskipun masih ada sisa-sisanya, namun wayang ini hampir punah karena terdesak oleh wayang lain yang lebih populer.
f. Wayang Kulit Purwa Jawa Timuran
Bentuk wayang kulit ini memiliki ciri khas, yaitu penggunaan mahkota yang dikombinasikan dengan gelung sapit urang. Sedangkan tokoh-tokoh wanitanya mirip dengan wayang kulit gaya Yogyakarta.
g. Wayang Golek
Wayang terbuat dari kayu yang dibentuk menjadi semacam boneka. Golek dalam bahasa Jawa berarti boneka. Cerita yang dipentaskannya bervariasi, ada yang mengisahkan Mahabharata dan Ramayana, namun ada juga yang mengisahkan cerita saduran dari Hikayat Amir Hamzah.
h. Wayang Krucil atau Wayang Klithik
Wayang ini diciptakan oleh Raden Pekik di Surabaya pada tahun 1648 Masehi atau 1571 Saka (watu tunggangane buta widadari). Wayang dibuat dari kayu dibentuk pipih, diukir seperlunya. Tangannya terbuat dari kulit. Pada perkembangannya wayang klithik dipakai untuk mementaskan cerita Damarwulan, sedangkan wayang krucil tetap mementaskan cerita Mahabharata.
i. Wayang Ukur
Wayang ini kreasi Ki Sukasman, seorang seni rupawan dari Yogyakarta. Pada dasarnya adalah wayang ini merupakan pengembangan wayang kulit purwa dari kacamata seniman kontemporer. Dalam penciptaannya Sukasman menggunakan ukuran-ukuran proporsi tubuh, sehingga wayang hasil kreasinya ini disebut sebagai wayang ukur.
j. Wayang Sandosa
Pergelaran wayang eksperimental dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Wayang yang digunakan adalah wayang kulit purwa yang dimainkan beramai-ramai oleh beberapa dalang.
k. Wayang Wong
Wayang yang dipentaskan dalam bentuk drama tari. Tokoh-tokoh wayang dimainkan oleh para penari dengan busana mirip dengan busana wayang kulit purwa yang diperankannya. Sampai saat ini jenis wayang ini masih bisa dilihat.
l. Wayang Madya
Wayang ini ciptaan Mangkunagara IV. Wayang ini diciptakan untuk menjadi penghubung antara wayang kulit purwa dengan wayang gedhog. Bentuknya pun berada di tengah-tengah wayang kulit purwa dan wayang gedhog, bagian perut ke atas menyerupai wayang kulit purwa, sedangkan bagian perut ke bawah menyertupai wayang gedhog. Ceritanya diambil dari serat Pustaka Raja Madya.
m. Wayang Gedhog
Wayang ini dibuat dari kulit seperti wayang kulit purwa, tetapi cerita yang dipentaskan adalah cerita Panji, yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari cerita wayang madya.
n. Wayang Menak
Wayang yang bersumber pada cerita-cerita Islam yang tertulis dalam serat Menak, kitab yang merupakan saduran dari hikayat Amir Hamzah. Cerita ini mengisahkan sepak terjang seorang raja sakti dari Timur Tengah, Amir Hamzah atau Wong Agung Jayengrana, atau Wong Agung Menak dalam menegakkan kebenaran.
o. Wayang Kancil
Wayang yang ceritanya berkisar pada dongeng binatang. Tokoh utama dari cerita wayang ini adalah binatang yang bernama kancil.
p. Wayang Wahyu
Wayang yang digunakan sebagai alat dakwah para penganut nasrani. Wayang ini mengisahkan cerita-cerita yang terdapat dalam kitab suci Injil.
q. Wayang Sadat
Wayang ini tergolong baru, karena baru diciptakan pada tahun 1985 oleh seorang guru matematika di SPG Muhammadiyah Klaten, Suryadi Warnosuharjo. Wayang ini berisi cerita para wali dalam menyebarkan agama Islam.
3. Lakon Wayang
Sebagian besar orang Jawa menyebut bahwa sumber lakon wayang adalah Mahabharata dan Ramayana yang terdapat di India. Pendapat ini tidak keliru, hanya saja harus hati-hati, karena di India sendiripun cerita-cerita itu banyak sekali versinya. Oleh karena itu jika disebut sebagai tiruan dari India, maka harus jelas tradisi India yang mana yang menjadi sumber inspirasi bagi nenek moyang bangsa Jawa menggubah lakon wayang. Di Surakarta misalnya, banyak disebut-sebut bahwa lakon wayang diambil dari serat Pustaka Raja Purwa, sedangkan di Yogyakarta banyak disebut serat Purwakandha, meskipun pada kenyatannya baik dalang Yogyakarta maupun Surakarta tidak pernah membaca kitab-kitab wayang dan hanya mengandalkan ingatan mereka, belajar dari tradisi lisan yang mereka kenal.
Lakon Wayang yang berkembang di Jawa adalah lakon-lakon yang diambil dari empat siklus lakon, Yakni: siklus Mahabharata, siklus Ramayana, siklus Lokapala, serta siklus Arjunasasra. Siklus Mahabharata menampilkan para Pandhawa dan Kurawa. Lakon-lakon yang digubah berdasarkan siklus Mahabharata di antaranya: Dewa Ruci, Parta krama, dan sebagainya. Dari siklus Ramayana melahirkan lakon-lakon: Rama Tambak, Anggada Duta, Senggana Duta, Kembang Dewa Retna, dan sebagainya. Siklus Lokapala menampilkan Bedhahing Lokapala, Rahwana Bandhang, dan sebagainya. Siklus Arjunasasra, melahirkan lakon-lakon Sumantri Ngenger, Sumantri Gugur, dan sebagainya.
4. Teladan-teladan dalam Wayang
Wayang Kulit merupakan media yang cukup efektif untuk berbagai kepentingan, karena wayang masih sangat digemari oleh masyarakat. Wayang kulit merupakan satu bentuk kesenian yang merupakan gabungan dari banyak unsur seni yang lain, seperti Seni Lukis, Seni Suara, Seni Drama, dan sebagainya, oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak orang menyukainya. Kondisinya yang semacam itu memungkinkan wayang dijadikan media untuk berbagai kepentingan, mulai dari dakwah seperti yang dilakukan oleh para wali, sampai propaganda pandangan hidup seperti yang pernah dilakukan oleh PKI pada masa silam. Potensi wayang yang begitu besar juga banyak dimanfaatkan oleh para pujangga Jawa untuk menggubah kitab-kitab yang berisi keteladanan para tokoh wayang. Tema paling banyak adalah tema tentang kepahlawanan. Serat Tripama karya Pakubuwono X yang sangat terkenal misalnya, banyak memberikan inspirasi para ksatriya untuk bersikap.
Kekuatan yang dimiliki oleh mata ajar wayang semacam ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para guru untuk menanamkan budi pekerti kepada peserta didik, untuk itu perlulah kiranya para guru membekali diri dengan pengetahuan komprehensif tentang lakon wayang dan sepak terjang para tokohnya. Pemanfaatan media berupa rekaman audio maupun audio visual pertunjukan wayang akan sangat membantu pemahaman peserta didik tentang seni pertunjukan wayang kulit. Sekali lagi yang menjadi kendala bagi peserta didik adalah bahasa Jawa dalam pertunjukan wayang itu adalah bahasa sastra yang sering tidak terpahami arti dan maksudnya. Oleh karena itu guru juga harus membekali diri dengan pengetahuan bahasa yang digunakan dalam pertunjukan wayang, terutama dalam wacana narasi seperti janturan, candra, dan sebagainya. Kondisi psikologis peserta didik yang memasuki dunia realitas harus menjadi pertimbangan pemilihan bahan untuk pengajaran sastra wayang ini.
Cerita yang bisa dipilih sebagai bahan pengajaran misalnya cerita ketika Pandhawa dan Kurawa berguru kepada Begawan Drona yang sarat dengan pelajaran moral realistik. Pandhawa yang berguru dengan sungguh-sungguh dapat menguasai segala ilmu yang diberikan oleh guru mereka, sedangkan para Kurawa yang malas-malasan serta mengandalkan kedudukan mereka sebagai anak raja tidak berhasil menguasai ilmu yang diajarkan kepada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar