Liana Arum Purwitasari

tanpa tanda jasa
SELAMAT DATANG DI BLOG LIANA ARUM PURWITASARI

Rabu, 25 Januari 2012


BAB IV
KEGIATAN BELAJAR 3
BASA PINATHOK

A. Kompetensi dan Indikator
            Basa pinathok adalah bagian tak terpisahkan dari dunia sastra Jawa. mata ajar basa pinathok mengharuskan guru memiliki keterampilan bermain kata-kata. Kembali ke persoalan pemilihan bahan ajar, guru harus kreatif inovatif menentukannya. Berbagai contoh sastra yang berupa basa pinathok diupayakan berkesan bagi peserta didik. Kompetensi yang bisa dikembangkan dalam mata ajar ini meliputi empat keterampilan berbahasa  juga, dengan penekanan pada kemampuan peserta didik membedakan satu pola dengan pola yang lain.
            Pengajaran materi basa pinathok bukan bertujuan mengajarkan bentuk sastra masa lalu, tetapi harus bertujuan ke depan, aplikatif, inovatif dan kreatif. Mengajarkan materi basa pinathok berarti mengajarkan pola-pola basa pinathok. Dalam rangka pembelajaran yang kontekstual, pemaparan materi ini harus selalu disertai aplikasi pola-pola itu dalam kehidupan sehari-hari yang sampai saat ini masih dapat dirasakan. Jika guru berhasil membawa peserta didik bermain kata, maka output yang dihasilkan adalah peserta didik yang mampu mengaplikasikan kemampuan bersastra khas Jawa ini dalam keseharian.

B. Uraian Materi
            Tidak semua pola basa pinathok dipakai dalam wacana keseharian. Pola yang sering muncul dan bisa dipelajari dalam mata ajar ini meliputi di antaranya purwakanthi, paribasan, bebasan, saloka, dan parikan.

1. Purwakanthi
Secara etimologis, kata purwakanthi berasal dari kata purwa yang berarti ‘awal’, ‘permulaan’, dan kanthi yang berarti ‘memakai’, ‘dengan’, ‘teman’, ‘gandeng’. Purwakanthi dalam hal ini berarti menggandeng atau mengulang yang telah tersebut di awal. Unsur yang diulang adalah suara atau huruf kata di depannya, sehingga suara atau huruf menjadi berturutan.
Purwakanthi dibagi menjadi tiga:

1) Purwakanthi guru swara
Unsur yang diulang pada purwakanthi guru swara adalah suara.
Contoh:           Sapa jujur, bakal luhur.

2) Purwakanthi guru sastra
Unsur yang diulang dalam purwakanthi jenis ini adalah huruf.
Contoh:           Sapa salah, mesthi seleh.
Kata salah diulang dalam bentuk lain menjadi seleh. Unsur yang diulang adalah huruf s-l-h, sehingga meskipun suaranya tidak sama tetapi huruf-huruf konsonannya sama.

3) Purwakanthi lumaksita atau purwakanthi basa
Jenis purwakanthi ini dapat dilihat pada contoh di bawah ini:
(1)        Bayem arda, ardane ngrasuk busana

(2)        Amenangi jaman edan,
Ewuh aya ing pambudi,
Milu edan ora tahan,
Yen tan milu anglakoni...

Menurut pemahaman tradisional kata arda (1), edan (2), milu (3) terasa seperti berjalan dari bagian depan ke bagian selanjutnya. Jika dilihat dengan seksama ternyata terdapat pengulangan kata pada purwakanthi jenis ini. Kata arda (1) diulang di belakangnya menjadi ardane (1). Kata edan (2) di bait satu diulang lagi di bait tiga; kata milu di bait tiga diulang di bait empat. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam purwakanthi lumaksita unsur yang diulang adalah kata, meskipun kadang-kadang bentuknya menjadi berubah karena proses morfologis.
Purwakanthi dikenal dengan baik dan disukai oaleh orang Jawa, sehingga muncul dalam berbagai wacana paribasan, bebasan, saloka dan lain-lain.

2. Paribasan
            Paribasan adalah rangkaian kata yang tetap penggunaannya, tidak mengandung makna pengandaian, kata-katanya – sebagian atau seluruhnya – bermakna konotatif (mawa teges entar). Karena bersifat tetap maka susunan kata-katanya tidak boleh diubah-ubah, kata-katanya tidak boleh diganti dan tidak boleh dijadikan bentuk krama.
Contoh: anak molah bapa kepradhah.
            Kata-kata dalam contoh di atas tidak bisa diganti kata lain atau diubah menjadi bentuk krama. Tidak bisa pula dibolak-balik susunannya menjadi:
            Bapa kepradhah anak molah.
Bapa molah anak kepradhah.

3. Bebasan
            Istilah rangkaian kata yang tetap penggunannya, kata-katanya bermakna konotatif dan mengandung makna pengandaian. Adapun yang diandaikan adalah keadaan, sifat, watak serta perbuatan seseorang.
Contoh: ancik-ancik pucuking eri.
Kata-kata dalam contoh ini tidak bisa diubah maupun diganti, misalnya menjadi:
Ancik-ancik pucuking dom, atau
Ngadeg pucuking eri.
Letak perbedaan paribasan dan bebasan adalah pada makna pengandaian. Paribasan bermakna lugas, tanpa pengandaian meskipun kata-katanya bersifat konotatif, sedangkan bebasan mengandung makna pengandaian.

4. Saloka
            Saloka mirip sekali dengan bebasan. Keduanya sama-sama memiliki makna pengandaian dan kata-katanya bersifat konotatif. Pemakaiannya juga sama-sma tetap, artinya tidak boleh ada perubahan unsur-unsurnya. Perbedaannya, dalam saloka yang diandaikan adalah orang, yang dipakai sebagai pengandaian bisa binatang maupun barang.
Contoh: kebo nusu gudel.
Pada contoh di atas, kebo menjadi pengandai orang tua dan gudel menjadi pengandai anak. Pengertian saloka tersebut adalah: orang tua berguru pada orang muda. Saloka yang nengandung purwakanthi misalnya: gajah ngidak rapah.

5. Parikan
            Parikan adalah rangkaian kata semacam pantun dalam bahasa Indonesia, yang memiliki ciri:
1) Terdiri dari dua bagian, bagian pertama disebut purwaka, bagian kedua disebut wos atau isi.
2) Setiap bagian terdiri dari dua gatra
3) menggunakan purwakanthi (biasanya purwakanthi guru swara)
            Di antara bentuk-bentuk sastra pinathok, parikan sampai sekarang masih terus diproduksi dan muncul dalam kehidupan sehari-hari berupa syair lagu, cakepan tembang dan sindhenan, seloroh dan lain-lain. Dilihat dari bentuknya parikan yang lazim terdapat di dunia sastra tradisional Jawa ada tiga:
1) parikan yang berpola (4 suku kata + 4 suku kata) x 2
Contoh:           Singgah klentheng, aneng genthong
Wonge nggantheng, sake kothong
2) parikan yang berpola (4 suku kata + 8 suku kata) x 2
Contoh:           Kembang puyang, pantese wadhahi rantang
                                    Awak mriyang, tanggal tuwa tagih utang
3) parikan berpola bebas
Contoh:           Jambu alas, kulite ijo (9 suku kata)
                                    Sing tak gagas, wis duwe bojo (9 suku kata)

                                    Tembok, ting caloneh (6 suku kata)
Muni kapok, bali maneh (8 suku kata)

Numpak sepur mudhun tugu, (8 suku kata)
Ilang sepure kari tugune, (10 suku kata)
Nganggo pupur ketok ayu (8 suku kata)
Ilang pupure ketok panune (10 suku kata)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar